Setiap
negara punya daya magnet sendiri, besar kecilnya magnet itu sangat
tergantung pada keunikan dan kelebihan sebuah negara ditambah dengan
pengelolaan yang baik dan promosi yang efektif. Indonesia adalah negara
dengan kumpulan keunikan dan keindahan yang tiada duanya di dunia, namun
masih sangat lemah dalam sisi pengelolaan dan promosinya, maka jangan
heran jika jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Malaysia jauh
lebih besar dan berkali lipat dari Indonesia, dan Malaysia dengan ‘Truly Asia’nya
adalah destinasi dunia yang patut diacungi jempol dari sisi promosinya
sekaligus layak ditiru oleh Indonesia, karena untuk soal keunikan dan
keindahan alam, saya rasa Indonesia tentu sangat berani bersaing dengan
Malaysia, itu yang saya baca dari banyak sumber berita di Internet.
Jika sebelumnya saya pernah memposting tentang 5 Hal unik seputar Ecuador dan juga secret story yang pernah saya alami di Ecuador. Kali ini saya ingin mempertajamnya pada daya tarik lain dari Ecuador dari potensi usaha yang juga bisa dikembangkan di Indonesia. Karena saya yakin banyak dari pembaca kompasiana haus akan inspirasi usaha untuk bisa dilakoninya. Dan kebetulan baru saja saya sedikit ‘mengubek-ubek’ tulisan di kompasiana yang berkaitan dengan peluang usaha yang menggiurkan sekaligus prospektif untuk saya jalani nanti. Saya memasukkan kata ‘sukses beternak’ di menu pencarian artikel kompasiana. Dan beberapa tulisan dengan judul yang menarik pun tersaji berkaitan dengan usaha beternak, diantaranya yaitu beternak kelinci, bebek peking, ikan lele, ikan nila dan sapi. Dan sayapun menyempatkan untuk membacanya karena saya juga haus akan inspirasi usaha yang nanti bisa saya tekuni. Saya ingin menghabiskan usia saya di desa dengan menjalankan usaha yang berbasis pada potensi desa. Karena panggilan jiwa saya lebih cendrung kesana. Apalah enaknya hidup di kota yang sumpek, padat, dan macet? Ditambah lagi dengan status sebagai karyawan yang harus pergi pagi pulang malam, dan begitu setiap harinya. Saya rasa hidup seperti itu seperti tawanan, dan ogaaaahhhh banget jika harus memilihnya.
Dari
sedikit penyelidikan itu ternyata saya dapati tulisan yang memuat
inspirasi usaha tingkat keterbacaannya lumayan tinggi, rata-rata diatas
500 pembaca, lumayan banget kan? Namun anehnya, jarang sekali ada yang
meninggalkan komentar di artikel tersebut apalagi terjadi dialog antar
sesama kompasianer agar materi tulisan bisa semakin berkembang. Mengapa
bisa demikian? Pastinya saya tidak tahu, namun memang sudah umum terjadi
di Kompasiana tulisan bagus dan bermanfaat terkadang lewat begitu saja
tanpa terkomentari. Karena komentar sendiri seringkali hanya berupa
ajang ‘balas-balasan’. Sehingga tulisan bagus dan menginspirasi
seringkali tidak terkomentari karena ditulis oleh orang yang ‘tidak
dikenal’ atau ditulis oleh kompasianer yang tidak pernah atau jarang
berkomentar di tulisan orang lain. Yang justru lebih mengherankan adalah
kompasianer seringkali bolak balik berkomentar di tulisan yang sama
bahkan bisa lebih dari sepuluh kali karena terlibat percekcokan dengan
kompasianer lainnya. Padahal salah satu fungsi blog yang saya ketahui
adalah untuk menambah relasi, dan blog juga memungkinkan untuk
terjadinya diskusi dan tanya jawab yang akan memberi manfaat berlipat.
Waahhh, pengantarnya jadi berkepanjangan … Well, kita mulai sekarang!
Pisang,
buah yang satu ini memang menjadi tak biasa di Ecuador, selain karena
menjadi salah satu sumber devisa utama bagi negara ini, pisang juga
menjadi asupan vitamin yang sangat bernilai bagi masyarakat Ecuador
karena masyarakat sangat gemar mengkonsumsinya. Di pasaran dalam negeri
selain karena harganya terjangkau, rasa buah pisang di Ecuador juga luar
biasa; legit, lembut dan segar. Maka tak heran bila negara yang tengah
di pimpin presiden berideologi sosialis dan didukung oleh banyak rakyat
di daerah pedesaan namun di tentang banyak penduduk kota yang cendrung
liberal ini kemudian tampil sebagai top eksportir pisang di dunia.
Ditambah lagi penampilan pisang disini menawan sekali, sangat
menggiurkan, tidak kalah berkelas dengan buah impor yang membanjiri
Indonesia.
Pisang
tidak hanya di jadikan buah konsumsi atau kripik pisang seperti yang
biasa kita temui di Indonesia. Pisang di negeri yang menginspirasi
Darwin menelurkan teori evolusinya ini, juga telah menjelma menjadi
bahan baku sup (orang sini menyebutnya sopa), ditumbuk kemudian dibentuk
seperti perkedel lalu digoreng (dikenal dengan nama Patacon).
Atau digoreng biasa tanpa tepung dan dijadikan teman nasi saat makan
disamping lauk pauk lainnya, bahkan nasi gorengpun dibeberapa restoran
dilengkapi dengan pisang goreng di sisi-sisinya. Unik bukan?
Masyarakat Ecuador mempunyai beberapa sebutan untuk pisang. Pisang buah yang nikmat dikonsumsi secara langsung disebut banano atau guineo. Sedangkan pisang yang biasa diolah untuk kripik, digoreng atau diolah dalam bentuk lain disebut platano,
pisang ini kurang enak untuk dikonsumsi secara langsung karena umumnya
berasa sepat atau getir. Platano sendiri terbagi menjadi dua, yaitu platano verde untuk sebutan platano yang masih hijau dan belum masak dan platano maduro untuk yang sudah masak dan berwarna kuning. Platano verde umumnya dijadikan bahan baku kripik pisang yang terasa renyah saat dikunyah,
sedangkan platano maduro biasa dijadikan pisang bakar yang dapat
ditambahkan keju ditengahnya setelah dibakar atau langsung dimakan juga
tiada yang melarang. Maduro ini banyak di jual di kafe dan kantin makan
di pinggir jalan. Jika sore menjelang banyak kendaraan menepi dan
pengendara menyempatkan diri untuk menikmatinya di sepanjang jalan yang
menuju Naranjal dan Puerto inca.
Perkebunan pisang dikelola dengan sangat baik, bahkan di perkebunan pisang (bananera)
yang luas, pemberian pupuk dan obat-obatan di lakukan oleh pesawat
terbang kecil. Pohon pisang tumbuh subur dan sangat teratur, buahnya
sangat ranum dan sedap dipandang. Hampir diseluruh tempat yang saya
kunjungi di salah satu negeri latin ini, pisang melimpah ruah disana.
Misalnya di pinggir jalan sepanjang Naranjal, Puerto inca, Duran sampai
Guayaquil, termasuk juga di pasar tradisional dan swalayan yang terdapat
di tempat tersebut. Saya juga banyak menemuinya di perjalanan menuju ke
Santa elena, dan besar kemungkinan hampir tersebar merata di seluruh
negeri ini.
Jika
pisang bisa begitu berarti bagi negeri yang dipimpin oleh Rafael Vicente
Correa Delgado (dikenal dengan Rafael Correa) ini, tentu saja Indonesia
yang mempunyai kemiripan climate dengan negara ini bisa
mendapatkan manfaat yang sama dari pisang. Yang saya ketahui justru di
banyak daerah di Indonesia, banyak pengrajin kripik pisang kesulitan
mendapatkan pasokan untuk bahan baku kripik. Tanaman pisang di Indonesia
juga umumnya hanya dikelola secara tradisional oleh petani-petani kecil
dan kualitas yang dihasilkannya masih sangat rendah.
Saya
berharap tulisan ini terbaca oleh pengusaha Indonesia dan membuatnya
tergerak untuk menginvestasikan dananya untuk membangun perkebunan
pisang intensif dan modern, yang juga dapat menyerap lapangan kerja,
sekaligus mampu memenuhi kebutuhan domestik akan buah pisang yang
berkualitas.
Pisang di
Ecuador telah menyumbangkan 14 persen PDB dan menyerap 30 persen tenaga
kerja yang ada atau sekitar 1,25 juta tenaga kerja. Luar biasa bukan?
Bayangkan jika Indonesia dengan lahan terbengkalainya yang masih luas
bisa mencoba untuk memajukan perkebunan pisang yang selama ini masih
dipandang sebelah mata.Sumber: http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2012/05/10/menggiurkannya-usaha-perkebunan-pisang-di-ecuador-indonesia-juga-bisa-456285.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar