Jumat, 20 Juni 2014

AGRIBISNIS: Kedelai


Pertumbuhan permintaan kedelai selama 15 tahun terakhir cukup tinggi, namun tidak mampu diimbangi oleh produksi dalam negeri, sehingga harus dilakukan impor dalam jumlah yang cukup besar. Harga kedelai impor yang murah (terutama dari Amerika Serikat) dan tidak adanya tarif impor menyebabkan tidak kondusifnya pengembangan kedelai di dalam negeri.
Prospek pengembangan kedelai di dalam negeri untuk menekan impor cukup baik, mengingat ketersediaan sumberdaya lahan yang cukup luas, iklim yang cocok, teknologi yang telah dihasilkan, serta sumberdaya manusia yang cukup terampil dalam usahatani. Di samping itu, pasar komoditas kedelai masih terbuka lebar.
Sebenarnya usahatani kedelai menguntungkan dari segi finansial dengan pendapatan bersih sekitar Rp. 2.05 juta/ha. Meskipun demikian, areal panen kedelai terus menurun dari 1,48 juta ha pada tahun 1995 menjadi 0,55 juta ha pada tahun 2004 dengan laju penurunan 10% per tahun. Salah satu penyebabnya adalah turunnya harga riil kedelai di tingkat produsen.
Untuk menekan laju impor diperlukan strategi peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi, penguatan kelembagaan petani, peningkatan kualitas produk, peningkatan nilai tambah, perbaikan akses pasar, perbaikan sistem permodalan, pengembangan infra- struktur, serta pengaturan tata niaga dan insentif usaha.
 
Untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, dengan sasaran peningkatan produksi 15% per tahun, sasaran produksi 60% dicapai pada tahun 2009. dan swasembada baru tercapai pada tahun 2015. Untuk mendukung upaya khusus peningkatan produksi kedelai tersebut diperlukan investasi sebesar Rp. 5,09 trilyun (2005-2009) dan 16,19 trilyun (2010-2025). Dalam periode yang sama, investasi swasta diperkirakan masing-masing sebesar Rp. 0,68 trilyun dan Rp. 2,45 trilyun.
Agar tujuan dan sasaran pengembangan kedelai dapat ter-capai, diperlukan dukungan dan partisipasi dari seluruh stakeholder: (i) kebijakan pemerintah, mulai dari subsistem hulu hingga ke subsistem hilir; (ii) komitmen dari stakeholder swasta/pengusaha untuk berpartisipasi dalam menekan ketergantungan pangan dari impor; (iii) partisipasi aktif pemerintah daerah dan aparat pertanian (penyuluh) serta masyarakat pertanian dalam pengembangan budidaya kedelai.
Selain itu diperlukan berbagai kebijakan yang mencakup:
 
  • Kemudahan prosedur untuk mengakses modal kerja (kredit usaha) bagi petani dan swasta yang berusaha dalam bidang agribisnis kedelai.
  • Percepatan alih teknologi/diseminasi hasil penelitian dan percepatan penerapan teknologi di tingkat petani melalui revitalisasi tenaga penyuluh pertanian.
  • Pembinaan/pelatihan produsen/penangkar benih dalam aspek teknis (produksi benih), manajemen usaha perbenihan serta pengembangan pemasaran benih. Penyediaan kredit usaha perbenihan bagi produsen atau calon produsen benih.
  • Mendorong/membina pengembangan usaha kecil/rumah tangga dalam subsistem hilir (pengolahan produk tahu, tempe, kecap, tauco, susu) untuk menghasilkan produk olahan yang bermutu tinggi sesuai dengan tuntutan konsumen.
  • Kebijakan makro untuk mendorong pengembangan kedelai di dalam negeri dengan memberlakukan tarif impor yang cukup tinggi.
  • Pengembangan prasarana/infrastruktur pertanian secara umum (pembukaan sawah/lahan pertanian, pembuatan fasilitas irigasi dan jalan, juga akan mendorong pengembangan kedelai di dalam negeri.
  • Kebijakan alokasi sumberdaya (SDM, anggaran) yang memadai dalam kegiatan penelitian dan pengembangan (R & D) dalam rangka menghasilkan teknologi tepat guna.
Komitmen yang tinggi dari pemerintah dalam hal alokasi investasi (anggaran) akan sangat menentukan keberhasilan yang hendak dicapai. Gerakan peningkatan produksi pangan di dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor perlu dicanangkan oleh pimpinan nasional.
 Sumber:http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b2kedelai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label