Masih melanjutkan tentang import daging sapi. Pada kesempatan
ini, saya mencoba untuk berprilaku sebagai pengusaha. Terus terang saya
minim sekali pengalaman tentang dunia bisnis ini, apalagi sebagai
importir. Ditambah latar belakang pendidikan saya bukan ekonomi. Bila
ada kekeliruan dalam penulisan ini ditinjau dari ilmu ekonomi, cukup
dimaklumi saja. Agak bosan juga menelaah kasus import daging sapi dari
sisi hukum dan politik. Saya coba untuk meninjau dari sudut sebagai
seorang pengusaha. Pura-puranya begitu.
Rupanya bisnis import daging sapi, labanya mengiurkan. Ketimbang membuka bisnis warung tegal, atau jual pulsa hape. Dalam sekejab, keuntungan bisa menghidupi keluarga sampai tujuh turunan. Laba kotor dari bisnis ini berkisar Rp 40.000/ kg. Andai kita mendapat kuota import sebesar 5.000 ton, keuntungan yang bisa kita nikmati 200 Miliar. Wow !. Dari keuntungan itu, kita alokasinya 50 Miliar untuk “sedekah” kepada para pejabat, masih ada keuntungan 150 Miliar. Saran saya, jadi pengusaha jangan pelit, mau mengambil keutungan besar saja. Ingat keberlanjutan bisnis. Tak mengapa, keuntungan kotor itu 50% sudah dialokasikan untuk “sedekah”. Meskipun kita hanya dapat 100 miliar per semester. Untuk sementer selanjutnya hubungan dan kepercayaan tetap terpelihara. Coba kalkulasikan jika per semester saja, perusahaan kita mendapat keuntungan 100 Miliar, setahun pasti mendapat 200 Miliar. Nah, kalau 5 tahun. Jelas keuntunganya 1 Triliun. Apa ngga bisa menghidupi keluarga sampai tujuh turunan.
Patut untuk diperhatikan, tip dan trik di bawah ini:
1. Tetap pertahankan pemerintah untuk berkiblat kepada import daging sapi. Jangan sampai pemerintah menjalankan swasembada sapi lokal. Usaha bisnis kita bisa mampus. Bukan hanya kita, tetapi semua pengusaha importir daging sapi juga akan gulung tikar. Upayakan kran kuota import dibuka selebar-lebarnya.
2. Manfaatkan peluang pasar, saat harga daging sapi meroket sampai Rp 90 ribu - Rp 100 ribu per kilo. Kita bisa meraup keuntungan lebih besar. Dan juga menjelang lebaran, dimana permintaan daging sapi tinggi di pasaran. Caranya: tahan dulu suplay daging sapi sekitar 2-4 minggu sebelumnya. Jangan dilempar ke pasar, sampai konsumen teriak adanya kelangkaan pasokan. Rumus ekonomi akan berlaku. Ketika permintaan tinggi, dengan suka hati kita bisa naikan harga penawaran. Untuk menahan bakalan sapi atau daging sapi beku kita bisa bekerjasama dengan petugas bea cukai di pelabuhan atau wilayah pabean. Kontanair kita jangan dibongkar dulu. Beri “sedekah” ke petugas bea cukai pelabuhan, tidak usah terlalu besar. Beri 1 Miliar saja untuk 10-20 orang petugas, sudah cukup. Atau kapal angkutan kontainer dari Darwin Australia, dibawa muter dulu sampai 2 minggu. Paling menambah biaya sewa atau angkut kapal per hari. Tidak besar juga biayanya.
3. Kalau perlu kita buat langka sama sekali pasokan daging di pasaran. Tinggal kita bicarakan dengan teman pengusaha di Australia. Sampai batas waktu tertentu. Saat pasar teriak, kita bisa bilang ke pemerintah untuk membuka kuota import. Memangnya pemerintah bisa apa mengatasi kelangkaan ini. Kecuali pemerintah menyiapkan BUMN sebagai importir juga. Selama ini kan tidak ada. Jadi dengan mudah kita bisa setir pemerintah untuk membuka kran import.
4. Jika pada harga normal, kita hanya bisa mendapat keuntungan Rp 40 ribu per kilo, dengan lonjakan harga tinggi, usaha kita bisa mendapatkan Rp 50 ribu - Rp. 60 ribu per kilo. Atau ada penambahan minimal Rp 10 ribu per kilo. Tinggal dikali dengan kuota kita sebesar 5000 ton. Dari peluang ini saja kita sudah bisa mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp 50 Miliar. Urusan rakyat yang teriak mahalnya harga daging, bukan urusan kita. Urusan rakyat itu urusan pemerintah. Urusan kita mendapatkan untuk sebesar-besarnya.
5. Pemerintah untuk menentukan besaran pasokan, tentu berdasarkan data estimasi kebutuhan atau permintaan. Besarnya estimasi kebutuhan, biasanya didapat dari data BPS. Kita temui saja orang BPS, ajak makan malam, beri “sedekah” untuk ubah itu data estimasi kebutuhan. Misalnya kebutuhan konsumsi daging sapi 300 ton, sedangkan pasokan daging sapi lokal hanya 50 ribu ton. Kita ganti saja kebutuhan konsumsi menjadi 500 ton. Selisihnya akan memperbesar kuota import. Begitu caranya.
6. Bagaimana dengan tender atau penunjukan langsung? Seperti halnya di dinas atau departemen lain, pola permainannya sama saja. Kita buat saja beberapa anak perusahaan atau perusahaan fiktif untuk jadi rekanan tender. Jadi seolah-olah rekanan importir ikut tender puluhan banyaknya. Atau kita sewa bendera perusahaan lain. Toh yang dibutuhkan sekedar kop surat dan stempel. Nanti tinggal kita bagi saja fee setelah keluar Surat Persetujuan Import (SPI). Atau kita dorong saja pengusaha baru lain untuk buat usaha importir untuk ikut tender. Nanti di lapangan mereka juga kelabakan sendiri. Karena kawan kita di Australia akan menjual mahal kepada importir baru ini, beda dengan kita yang sudah berteman lama. Seluk beluk di pelabuhan, Bea Cukai, Balai Karantina sampai RPH, pengusaha baru ini juga tidak paham. Tinggal kita minta saja izin itu dijual kepada perusahaan kita. Meskipun importir tetap menggunakan bendera mereka, keuntungan tetap kembali ke kita.
7. Agar perusahaan kita selalu mendapat jatah kuota terbesar, itulah pentingnya persahabatan dan silaturahmi. Kita harus tahu dulu, siapa yang mengambil keputusan pemberian kuota import ini. Apakah Menteri, anggota DPR atau Dirjen? Saran saya, berteman baiklah kepada semuanya. Jangan pelit dengan “sedekah”. Bukankah kita sudah hitung tadi, 50% keuntungan kita alokasikan untuk “sedekah”. Tapi jangan juga bego, diminta melebihi pagu “sedekah”, kita nurut saja. Ya pasti ada hitung-hitungannya. Para pejabat ini juga kan manusia, pasti ada orang yang dia takuti. Tinggal kita cari saja, siapa orang yang punya pengaruh itu. Kalau dia takut sama istrinya, karena pernah ketahuan selingkuh, kita dekati saja istrinya. Ajaklah sesekali shoping ke Singapura. Pasti senang. Bisa juga yang dia takuti mertuanya, gurunya, ketua RT nya atau bisa siapa saja. Jadi masuklah kepada orang yang bisa mempengaruhi ini. Jangan menjalin silaturahmi ini, hanya sekali atau urusan proyek ini semata. Jalin terus kalau bisa berkesinambungan. Dia minta apa, kita kasih. Bagaimana kalau ada perusahaan lain juga melakukan hal yang sama? Ya, kita cari orang yang pengaruhnya lebih besar lagi. Rivalitas dalam bisnis itu biasa saja. Itulah seninya. Supaya permainan kita tidak terlampau kasar, gunakanlah perantara atau makelar yang punya hubungan dekat dan baik kepada para pejabat. Biar saja dia yang mengurus semuanya. Pokoknya kita tahunya beres.
8. Kita usahakan agar, “sedekah” yang kita berikan kepada pejabat dalam rangka memperkuat ikatan silaturahmi, tidak bersumber dari keuntungan kotor yang akan kita peroleh. Harus cari dari sumber pemasukan lain. Jadi keuntungan kita tetap dan tidak terganggu. Bagaimana caranya? Kita ambil dari pembayaran pajak PPN (10%) dan PPH (1,5%). Misalnya 5000 ton daging sapi yang kita import terkena obyek kena pajak PPN sebesar Rp 15 Miliar dan PPH sebesar Rp 2,2 Miliar. Total pajak yang harus kita bayarkan Rp 17 Miliar. Kita setor ke kas negara Rp 2 Miliar saja. Lalu Rp 5 Miliar kita kasih ke petugas Bea Cukai. Mereka pasti mengerti cara memanipulasi laporan. Petugas bea cukai juga senang. Dari pada 17 Miliar disetor ke kas negara mereka tidak dapat apa-apa. Jadi kita sudah bisa menghemat Rp 10 Miliar. Nah uang 10 Miliar itulah yang akan kita gunakan untuk “sedekah” ke pejabat lainnya. Hitungannya sama saja. Harusnya kita bayar 17 Miliar ke kas negara, tingga kita bagi-bagi saja ke pejabat negara. Sama saja, toh negara juga judulnya.
9. Jika kita mau lebih untung lagi, kita ubah saja dokumen importnya. Yang seharusnya HS Code untuk daging sapi murni 0201 dan 0202, kita ganti dengan code jeroan daging HS 0206. Baiknya agar sinkron dokumen yang kita ganti codenya ini bukan hanya diberikan kepada Ditjen Bea Cukai tetapi juga ke Badan Karantina Pertanian. Hal ini untuk menghindari pungutan bea masuk. Sebab menurut ketentuan Harga CIF (Cost Insurance Freight) untuk daging sapi murni bea masuknya sebesar 5 persen. Kalau bea masuk untuk jeroan lebih murah. Sama seperti pembayaran PPN dan PPH di atas, kita ajak kerjasama saja dengan Dirjen Bea Cukai dan Balai Karantina. Selesai sudah. Mereka senang, kita untung.
10. Sebagai langkah antisipasi, agar pemerintah tidak berpihak kepada peternak lokal dengan program swasembada, kita sabotase saja. Banyak caranya. Salah satunya, kita kerjasama dengan RPH (Rumah Potong Hewan) , yakinkan mereka hanya akan menerima bakalan sapi hidup dari Australia. Dan minta kepada mereka untuk menolak sapi potong lokal. Tentu saja kita harus pengertian, dengan memberi sedikit “santunan” kepada pengelola RPH ini. Kita biarkan saja, peternak lokal yang menjual sapinya dengan harga lebih mahal dari harga sapi import kita. Siapa juga yang mau beli daging sapi lebih mahal.
11. Terakhir, sebagai informasi saja. Saat ini harga beli daging sapi dari Australia masih berkisar Rp. 30 ribu per kilo. Jika harga pasar sekarang masih bertengger Rp 90 ribu per kilo. Sudah bisa kita hitung, keuntungan kotor kita Rp 60 ribu per kilo.
Saya kira, cukup sampai disini saja ceramah saya hari ini. Mudah-mudahan banyak kita untuk tergerak untuk terjun menjadi pengusaha importir daging sapi. Sangat jelas, kita akan mendapatkan kesenangan duniawi dengan bergelimang harta. Dan akan mendapat ganjaran di akhirat nanti berada di neraka jahanam. Salam !
http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2013/05/20/mari-belajar-bisnis-daging-sapi-561711.html
Rupanya bisnis import daging sapi, labanya mengiurkan. Ketimbang membuka bisnis warung tegal, atau jual pulsa hape. Dalam sekejab, keuntungan bisa menghidupi keluarga sampai tujuh turunan. Laba kotor dari bisnis ini berkisar Rp 40.000/ kg. Andai kita mendapat kuota import sebesar 5.000 ton, keuntungan yang bisa kita nikmati 200 Miliar. Wow !. Dari keuntungan itu, kita alokasinya 50 Miliar untuk “sedekah” kepada para pejabat, masih ada keuntungan 150 Miliar. Saran saya, jadi pengusaha jangan pelit, mau mengambil keutungan besar saja. Ingat keberlanjutan bisnis. Tak mengapa, keuntungan kotor itu 50% sudah dialokasikan untuk “sedekah”. Meskipun kita hanya dapat 100 miliar per semester. Untuk sementer selanjutnya hubungan dan kepercayaan tetap terpelihara. Coba kalkulasikan jika per semester saja, perusahaan kita mendapat keuntungan 100 Miliar, setahun pasti mendapat 200 Miliar. Nah, kalau 5 tahun. Jelas keuntunganya 1 Triliun. Apa ngga bisa menghidupi keluarga sampai tujuh turunan.
Patut untuk diperhatikan, tip dan trik di bawah ini:
1. Tetap pertahankan pemerintah untuk berkiblat kepada import daging sapi. Jangan sampai pemerintah menjalankan swasembada sapi lokal. Usaha bisnis kita bisa mampus. Bukan hanya kita, tetapi semua pengusaha importir daging sapi juga akan gulung tikar. Upayakan kran kuota import dibuka selebar-lebarnya.
2. Manfaatkan peluang pasar, saat harga daging sapi meroket sampai Rp 90 ribu - Rp 100 ribu per kilo. Kita bisa meraup keuntungan lebih besar. Dan juga menjelang lebaran, dimana permintaan daging sapi tinggi di pasaran. Caranya: tahan dulu suplay daging sapi sekitar 2-4 minggu sebelumnya. Jangan dilempar ke pasar, sampai konsumen teriak adanya kelangkaan pasokan. Rumus ekonomi akan berlaku. Ketika permintaan tinggi, dengan suka hati kita bisa naikan harga penawaran. Untuk menahan bakalan sapi atau daging sapi beku kita bisa bekerjasama dengan petugas bea cukai di pelabuhan atau wilayah pabean. Kontanair kita jangan dibongkar dulu. Beri “sedekah” ke petugas bea cukai pelabuhan, tidak usah terlalu besar. Beri 1 Miliar saja untuk 10-20 orang petugas, sudah cukup. Atau kapal angkutan kontainer dari Darwin Australia, dibawa muter dulu sampai 2 minggu. Paling menambah biaya sewa atau angkut kapal per hari. Tidak besar juga biayanya.
3. Kalau perlu kita buat langka sama sekali pasokan daging di pasaran. Tinggal kita bicarakan dengan teman pengusaha di Australia. Sampai batas waktu tertentu. Saat pasar teriak, kita bisa bilang ke pemerintah untuk membuka kuota import. Memangnya pemerintah bisa apa mengatasi kelangkaan ini. Kecuali pemerintah menyiapkan BUMN sebagai importir juga. Selama ini kan tidak ada. Jadi dengan mudah kita bisa setir pemerintah untuk membuka kran import.
4. Jika pada harga normal, kita hanya bisa mendapat keuntungan Rp 40 ribu per kilo, dengan lonjakan harga tinggi, usaha kita bisa mendapatkan Rp 50 ribu - Rp. 60 ribu per kilo. Atau ada penambahan minimal Rp 10 ribu per kilo. Tinggal dikali dengan kuota kita sebesar 5000 ton. Dari peluang ini saja kita sudah bisa mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp 50 Miliar. Urusan rakyat yang teriak mahalnya harga daging, bukan urusan kita. Urusan rakyat itu urusan pemerintah. Urusan kita mendapatkan untuk sebesar-besarnya.
5. Pemerintah untuk menentukan besaran pasokan, tentu berdasarkan data estimasi kebutuhan atau permintaan. Besarnya estimasi kebutuhan, biasanya didapat dari data BPS. Kita temui saja orang BPS, ajak makan malam, beri “sedekah” untuk ubah itu data estimasi kebutuhan. Misalnya kebutuhan konsumsi daging sapi 300 ton, sedangkan pasokan daging sapi lokal hanya 50 ribu ton. Kita ganti saja kebutuhan konsumsi menjadi 500 ton. Selisihnya akan memperbesar kuota import. Begitu caranya.
6. Bagaimana dengan tender atau penunjukan langsung? Seperti halnya di dinas atau departemen lain, pola permainannya sama saja. Kita buat saja beberapa anak perusahaan atau perusahaan fiktif untuk jadi rekanan tender. Jadi seolah-olah rekanan importir ikut tender puluhan banyaknya. Atau kita sewa bendera perusahaan lain. Toh yang dibutuhkan sekedar kop surat dan stempel. Nanti tinggal kita bagi saja fee setelah keluar Surat Persetujuan Import (SPI). Atau kita dorong saja pengusaha baru lain untuk buat usaha importir untuk ikut tender. Nanti di lapangan mereka juga kelabakan sendiri. Karena kawan kita di Australia akan menjual mahal kepada importir baru ini, beda dengan kita yang sudah berteman lama. Seluk beluk di pelabuhan, Bea Cukai, Balai Karantina sampai RPH, pengusaha baru ini juga tidak paham. Tinggal kita minta saja izin itu dijual kepada perusahaan kita. Meskipun importir tetap menggunakan bendera mereka, keuntungan tetap kembali ke kita.
7. Agar perusahaan kita selalu mendapat jatah kuota terbesar, itulah pentingnya persahabatan dan silaturahmi. Kita harus tahu dulu, siapa yang mengambil keputusan pemberian kuota import ini. Apakah Menteri, anggota DPR atau Dirjen? Saran saya, berteman baiklah kepada semuanya. Jangan pelit dengan “sedekah”. Bukankah kita sudah hitung tadi, 50% keuntungan kita alokasikan untuk “sedekah”. Tapi jangan juga bego, diminta melebihi pagu “sedekah”, kita nurut saja. Ya pasti ada hitung-hitungannya. Para pejabat ini juga kan manusia, pasti ada orang yang dia takuti. Tinggal kita cari saja, siapa orang yang punya pengaruh itu. Kalau dia takut sama istrinya, karena pernah ketahuan selingkuh, kita dekati saja istrinya. Ajaklah sesekali shoping ke Singapura. Pasti senang. Bisa juga yang dia takuti mertuanya, gurunya, ketua RT nya atau bisa siapa saja. Jadi masuklah kepada orang yang bisa mempengaruhi ini. Jangan menjalin silaturahmi ini, hanya sekali atau urusan proyek ini semata. Jalin terus kalau bisa berkesinambungan. Dia minta apa, kita kasih. Bagaimana kalau ada perusahaan lain juga melakukan hal yang sama? Ya, kita cari orang yang pengaruhnya lebih besar lagi. Rivalitas dalam bisnis itu biasa saja. Itulah seninya. Supaya permainan kita tidak terlampau kasar, gunakanlah perantara atau makelar yang punya hubungan dekat dan baik kepada para pejabat. Biar saja dia yang mengurus semuanya. Pokoknya kita tahunya beres.
8. Kita usahakan agar, “sedekah” yang kita berikan kepada pejabat dalam rangka memperkuat ikatan silaturahmi, tidak bersumber dari keuntungan kotor yang akan kita peroleh. Harus cari dari sumber pemasukan lain. Jadi keuntungan kita tetap dan tidak terganggu. Bagaimana caranya? Kita ambil dari pembayaran pajak PPN (10%) dan PPH (1,5%). Misalnya 5000 ton daging sapi yang kita import terkena obyek kena pajak PPN sebesar Rp 15 Miliar dan PPH sebesar Rp 2,2 Miliar. Total pajak yang harus kita bayarkan Rp 17 Miliar. Kita setor ke kas negara Rp 2 Miliar saja. Lalu Rp 5 Miliar kita kasih ke petugas Bea Cukai. Mereka pasti mengerti cara memanipulasi laporan. Petugas bea cukai juga senang. Dari pada 17 Miliar disetor ke kas negara mereka tidak dapat apa-apa. Jadi kita sudah bisa menghemat Rp 10 Miliar. Nah uang 10 Miliar itulah yang akan kita gunakan untuk “sedekah” ke pejabat lainnya. Hitungannya sama saja. Harusnya kita bayar 17 Miliar ke kas negara, tingga kita bagi-bagi saja ke pejabat negara. Sama saja, toh negara juga judulnya.
9. Jika kita mau lebih untung lagi, kita ubah saja dokumen importnya. Yang seharusnya HS Code untuk daging sapi murni 0201 dan 0202, kita ganti dengan code jeroan daging HS 0206. Baiknya agar sinkron dokumen yang kita ganti codenya ini bukan hanya diberikan kepada Ditjen Bea Cukai tetapi juga ke Badan Karantina Pertanian. Hal ini untuk menghindari pungutan bea masuk. Sebab menurut ketentuan Harga CIF (Cost Insurance Freight) untuk daging sapi murni bea masuknya sebesar 5 persen. Kalau bea masuk untuk jeroan lebih murah. Sama seperti pembayaran PPN dan PPH di atas, kita ajak kerjasama saja dengan Dirjen Bea Cukai dan Balai Karantina. Selesai sudah. Mereka senang, kita untung.
10. Sebagai langkah antisipasi, agar pemerintah tidak berpihak kepada peternak lokal dengan program swasembada, kita sabotase saja. Banyak caranya. Salah satunya, kita kerjasama dengan RPH (Rumah Potong Hewan) , yakinkan mereka hanya akan menerima bakalan sapi hidup dari Australia. Dan minta kepada mereka untuk menolak sapi potong lokal. Tentu saja kita harus pengertian, dengan memberi sedikit “santunan” kepada pengelola RPH ini. Kita biarkan saja, peternak lokal yang menjual sapinya dengan harga lebih mahal dari harga sapi import kita. Siapa juga yang mau beli daging sapi lebih mahal.
11. Terakhir, sebagai informasi saja. Saat ini harga beli daging sapi dari Australia masih berkisar Rp. 30 ribu per kilo. Jika harga pasar sekarang masih bertengger Rp 90 ribu per kilo. Sudah bisa kita hitung, keuntungan kotor kita Rp 60 ribu per kilo.
Saya kira, cukup sampai disini saja ceramah saya hari ini. Mudah-mudahan banyak kita untuk tergerak untuk terjun menjadi pengusaha importir daging sapi. Sangat jelas, kita akan mendapatkan kesenangan duniawi dengan bergelimang harta. Dan akan mendapat ganjaran di akhirat nanti berada di neraka jahanam. Salam !
http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2013/05/20/mari-belajar-bisnis-daging-sapi-561711.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar