Kain tapis dan kain usus memang belum sepopuler
batik atau ulos. Tapi, potensi bisnis kerajinan sulam asal Bandar
Lampung ini tak kalah menggiurkan. Memakai merek Karya Indah Tapis, Ani
Rusmadi membawa kerajinan berbahan kain tradisional ini melanglang
Nusantara. Masih ingat peristiwa 2 Oktober lalu ketika UNESCO,
organisasi pendidikan ilmu pengetahuan, dan budaya PBB, menobatkan batik
sebagai warisan budaya dunia? Hampir semua warga di pelosok Tanah Air
mengenakan batik dengan bangga.
Namun kita semua pasti mafhum, batik bukan satu-satunya kain khas
Indonesia. Ada ulos, kain tenun, dan songket. Ada pula, kain usus atau
tapis dari Bandar Lampung. Sudah pasti, kita ingin ketenaran kain-kain
ini bisa setara dengan batik.
Berbekal motivasi untuk memopulerkan kain tapis dan usus, Ani
Rusmadi mencoba menciptakan kerajinan tangan berbahan kain asal
daerahnya tersebut.
Pada tahun 1992, ibu muda ini mulai menjajal membuat kerajinan
tangan dari kain usus dan tapis. Saat itu modal awalnya hanya Rp
500.000.
Sebagian modal itu ia habiskan untuk membeli bahan-bahan kerajinan,
seperti kain usus dan tapis serta aneka benang dan karton. “Sementara
sisanya saya gunakan untuk sewa tempat usaha yang sederhana,” kenang
Ani.
Sejak awal, Ani melakoni bisnisnya bersama seorang rekanan yang
kini menjadi suaminya. Ani bertugas membuat desain dan pola sementara
sang rekan menjahit pola hingga jadi.
Ketika itu, Ani baru bisa mempekerjakan tiga karyawan. Jadi, paling
banter, per hari, Ani memproduksi 50 unit untuk tiap jenis kerajinan
tangan, seperti dompet, tas beragam ukuran, serta songkok atau kopiah.
Awalnya, Ani memasarkan produknya di Pasar Bambu Kuning di Bandar
Lampung. Lumayan, per bulan, ia bisa meraih pendapatan kotor Rp 1,5
juta. “Ternyata pasar menerima, banyak juga orang yang pesan langsung ke
rumah untuk cinderamata,” tuturnya.
Alhasil, seiring perjalanan waktu, usahanya pun kian berkembang.
Tahun 1997, ia mulai mengurus perizinan usahanya, seperti membuat akta
di notaris dan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Ani memilih nama usahanya
Karya Tapis Indah.
Dia pun mulai mengikuti pameran kerajinan tangan yang diadakan
Departemen Perindustrian. Dari sini, Ani mulai menemukan jalan untuk
melebarkan pasar ke luar Bandar Lampung.
Kini, Ani telah memasarkan produknya hingga ke Jakarta, Medan, dan
Kalimantan. Pegawainya pun telah bertambah menjadi sekitar 30 orang. Per
hari, produksinya mencapai kisaran 100 unit untuk tiap jenis kerajinan.
Dalam sehari, Ani setidaknya membutuh 100 helai selendang atau kain
usus dan tapis untuk membuat tas dan songkok. Sementara untuk membuat
dompet, ia membutuhkan sekitar 25 helai selendang. “Satu selendang
harganya Rp 50.000,” ujarnya.
Berarti, sehari Ani menghabiskan sekitar Rp 6,25 juta untuk
berbelanja bahan saja. “Kami aktif berproduksi 26 hari karena Minggu
libur,” jelasnya. Ani membanderol harga jual dompet antara Rp 20.000- Rp
70.000 per unit. Adapun, harga tas Rp 15.000-Rp 70.000 dan songkok Rp
25.000-Rp 50.000. Harga tergantung kerumitan pengerjaannya.
Khusus untuk pesanan dari luar kota, Ani bisa meraih margin laba
50%-70%. Adapun untuk penjualan ke toko-toko cinderamata, marginnya
lebih rendah sekitar 25%. Dengan harga dan margin seperti itu, kini Ani
meraup omzet sekitar Rp 30 juta per bulan.
Ani bilang, kualitas menjadi kunci utamanya untuk mempertahankan
pelanggan. “Kata orang-orang kelebihan produk saya adalah jahitannya
lebih rapi dan hasilnya lebih halus dibanding produk serupa lainnya,”
ujarnya bangga.
Oh, iya, selain menjalankan usaha kerajinan tangan dari kain usus
dan tapis ini, Ani juga membuka pelatihan bagi generasi muda di
daerahnya. Dia berharap, mereka pun bisa menghasilkan kerajinan seperti
dirinya.
Sementara itu, ada pula Endang Rachminingsih yang menekuni sulam
tangan sejak tahun 2005. Berkat kesabaran dan komitmennya terhadap
sulaman, kini ia dipercaya mengisi butik dan toko suvenir di Istana
Negara Republik Indonesia. Tak hanya itu, hasil-hasil sulamannya kini
telah melanglang buana hingga ke luar negeri.
Saat didatangi di rumah wanita kelahiran Bogor, 50 tahun silam itu
di bilangan Meruya Selatan. Pada salah satu bagian dari rumah wanita
empat anak itu dipenuhi dengan koleksi hasil kerajinan tangannya,
sulaman tangan, dan sulaman mesin (bordir).
Hasil sulamannya itu ia terapkan menjadi tas tangan nan cantik,
kotak tisu, kipas, hiasan dinding, hingga dompet. Endang, begitu ia
akrab disapa, mengaku kalau memulai usaha sulam ini awalnya hanya untuk
mengisi kekosongan setelah sang suami meninggal tahun 2004 silam.
Saat itu Endang tidak memiliki kesibukan apapun. Idenya timbul
setelah membongkar koleksi buku yang dihadiahi oleh almarhum suaminya
saat berdinas ke luar negeri. Buku-buku itu rata-rata adalah buku
sulaman dan buku keterampilan.
Berbekal dengan keteguhan dan kesungguhan niat, Endang mempelajari
sulaman tangan secara otodidak. ”Saya belajar dari nol. Saat itu saya
hanya tahu hanya dua dasar teknik menyulam, yaitu tusuk batang dan
rantai,” ujar wanita yang besar di Madiun ini.
Satu bulan lamanya ia mempelajari teknik menyulam dan aplikasinya
lewat buku-buku tersebut. Akhirnya ia bisa menguasai teknik-teknik
dasarnya. Sembari belajar, ia juga melatih kemampuannya dengan
memberikan kursus gratis pada anak-anak SLB di bilangan Meruya.
Saat itu sulaman yang dibuat diterapkan menjadi tas yang amat
sederhana. ”Hasil sulaman anak-anak SLB saya potong dan jadikan tas yang
sederhana sekali,” kenang peraih sejumlah penghargaan UKM (Usaha Kecil
Menengah) itu.
Tanpa disangka, ternyata hasil tas sederhana yang ia buat laku.
Setelah itu ia mulai serius menekuni sulaman. Endang bekerja sama dengan
dua orang penjahit untuk membuat sulamannya menjadi tas-tas cantik.
Ia tidak merasa kesulitan untuk mencari model untuk tas-tas
pesanannya. Selain mencontoh dari buku-buku, Endang juga memiliki skill
merangkai bunga yang ia pelajari dari Mayasari, sebuah perkumpulan
merangkai bunga pimpinan Ir Suliantoro di Yogyakarta.
”Menyulam itu sama dengan merangkai bunga. Bedanya, menyulam
menggunakan benang sedangkan merangkai menggunakan bunga segar. Secara
teknik, sama,” imbuhnya. Lewat keterampilan merangkai bunga itu ia
memilih gradasi warna, motif, dan rangkaian sesuai dengan imajinasi dan
pengalamannya dahulu.
Toko suvenir di Istana Negara
Bisnis sulaman Endang yang diberi nama Rumah Sulam Rachmy kian berkembang pesat. Terlebih setelah tahun 2006 ia memasukkan sejumlah kreasi sulamannya ke sejumlah toko ternama. Sebut saja toko Danarhadi, Martha Tilaar, Allure Batik, Chic Mart, hingga toko suvenir dan cinderamata Istana Negara RI. Khusus pesanan Istana Negara tidak dijual bebas.
Bisnis sulaman Endang yang diberi nama Rumah Sulam Rachmy kian berkembang pesat. Terlebih setelah tahun 2006 ia memasukkan sejumlah kreasi sulamannya ke sejumlah toko ternama. Sebut saja toko Danarhadi, Martha Tilaar, Allure Batik, Chic Mart, hingga toko suvenir dan cinderamata Istana Negara RI. Khusus pesanan Istana Negara tidak dijual bebas.
Bahkan ia kerapkali dipercaya oleh ibu Hassan Wirajuda dan ibu
Jusuf Kalla untuk membuatkan pesanan khusus bagi tamu negara. Terakhir
ia mengikuti bazar dan pameran di Jepang bersama Yayasan Sulam Indonesia
yang diketuai ibu Jero Wacik.
Ia mengawali kiprah penjualan ke pangsa pasar luas saat ia
berkenalan dengan Ibu Wiwoho, penanggung jawab bagian barang di
Danarhadi. Setelah lewat pemberitaan di media cetak dan elektronik, ia
diminta untuk mengisi koleksi tas di sana.
Sedangkan untuk bisa masuk ke Istana Negara ia mengaku awalnya
kenal dengan istri dari wakil duta besar Indonesia di Singapura.
”Setelah itu suaminya, Kemal Munawar, diangkat menjadi kepala rumah
tangga Istana Negara. Jadilah saya diminta untuk mengisi toko suvenir
dan cinderamata di sana,” ungkapnya.
Allure juga sempat memintanya untuk mengisi koleksi tas mereka di
Kemang. Perkenalannya dengan Djaka dari Allure dalam pameran INA CRAFT
2006 membuahkan kepercayaan untuk bekerjasama. ”Saya rajin ikut pameran
INA CRAFT, caranya saya mendaftar lewat kantor UKM Jakarta Barat agar
merek saya didaftarkan untuk pameran,” katanya.
Sementara itu untuk menembus jalur hingga ke Jepang ia mengaku
memiliki sepupu yang merupakan bendahara di Dekranas (Dewan Kerajinan
Nasional). Endang akhirnya dikenalkan pada Ibu Jero Wacik yang merupakan
salah satu pengurusnya. Dekranas yang bernaung di bawah Departemen
Pariwisata dan Kebudayaan mengajaknya untuk ikut pameran ke Jepang awal
Februari 2010.
Mengurangi pesanan
Sejak tahun 2006 hingga awal 2009 pesanan tas sulamnya makin membludak. Saat itu memiliki 17 pekerja yang bertugas membordir dan juga menyulam. Ia sempat kewalahan dan tidak memiliki waktu bermain dengan empat orang cucunya.
Sejak tahun 2006 hingga awal 2009 pesanan tas sulamnya makin membludak. Saat itu memiliki 17 pekerja yang bertugas membordir dan juga menyulam. Ia sempat kewalahan dan tidak memiliki waktu bermain dengan empat orang cucunya.
”Saat itu kegiatan saya bukan hanya memenuhi pesanan. Saya juga
dipanggil untuk mengajar TKW di Singapura, guru-guru SMK di Jakarta,
sekolah-sekolah, atau lewat departemen dan instansi pemerintah,”
jelasnya. Bahkan ia juga menelurkan dua buah buku tentang sulaman di
tengah-tengah kesibukannya itu.
Endang akhirnya berpikir untuk tetap bisa membagi waktu dengan
keluarga sambil meneruskan usahanya. Awal tahun 2009 ia memutuskan untuk
menghentikan beberapa kerjasamanya. ”Saya membuka butik dan workshop di
rumah sambil juga memenuhi panggilan mengajar,” tegasnya.
Ia mengajar ibu-ibu Darmawanita dan TKW yang dikarantina di
Singapura, workshop di Bali bersama Samuel Wattimena dan istri wakil
gubernur Bali, Ibu Bintang, mengajar sulaman pada anak-anak dhuafa di
Joglo, dan lainnya.
Meskipun saat ini hanya menjalani usaha sulaman, namun orderan
tidak pernah putus. Ia memperkerjakan 6 orang pembuat bordir dan tas,
juga 3 orang penyulam tangan. Dalam satu bulan ia bisa menghasilkan
puluhan tas sulam. Omzet yang diraihnya berkisar Rp 10-30 juta.
Sumber: http://akuberkarya.wordpress.com/berita/potensi-bisnis-kerajinan-sulam-menggiurkan-beromzet-puluhan-juta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar