Rabu, 24 September 2014

Budidaya Burung Puyuh Semakin Terpinggirkan

Budidaya Burung Puyuh
Sebelum krisis moneter terjadi di tahun 1998 lalu, di Sumatera Utara (Sumut) khususnya untuk di kawasan Kota Medan sekitarnya, budidaya burung puyuh sempat menjadi primadona bagi para pelaku usaha peternakan. Namun seiring berjalannya waktu, satu persatu dari pelaku usaha tersebut justeru harus gulung tikar dan bertumbangan. Bahkan tren peternakan yang dahulu sempat menghegemoni itu, sedikit demi sedikit terkikis oleh gerak perubahan zaman.
Saat ini, jumlah dari pelaku usaha tersebut, meskipun tidak bisa dikatakan sangat minim, tetapi keberadaannya memang semakin sulit untuk dapat ditemui. Jikalaupun ada ditemukan, lokasinya jauh di pedalaman, berada di pelosok pinggiran kota.

Salah satu pembudidayanya yang tetap eksis bertahan sejak dahulu adalah Ales. Pria yang getol membudidayakan burung puyuh itu, baik sebagai petelur maupun pedaging, terus menjalani usahanya itu di Desa Paya Gambar, Kecamatan Batangkuis, Deli Serdang.

Adapun kemampuannya dapat bertahan hingga kini tak bisa dilepaskan dari bekal kemampuannya dalam mengelola komoditi peternakan tersebut, berkat jasa didikan orang tuanya yang juga merupakan pembudidaya burung puyuh.

"Dahulu, sebelum krisis moneter terjadi, banyak yang membudidayakan burung puyuh. Tetapi kini, jumlahnya semakin menurun, karena gulung tikar," katanya kepada MedanBisnis, kemarin.

Hal itu menurut Ales, dikarenakan harga pakan yang geraknya dinilai sangat memberatkan peternaknya. Sehingga hal itu memukul para peternak burung puyuh.

Untuk itu, kata Ales, dalam menggeluti usaha itu, butuh kemampuan dalam berspekulasi sehingga dapat dengan lancar menjalankan usaha ternak burung puyuh tersebut. Agar nantinya usaha itu dapat terus bertahan, walaupun cost produksinya dianggap telah memberatkan.

"Saat ini, harga pakan ternak persaknya itu sebesar Rp 280.000. Hal itu menurut kita, sebagai peternak tentunya cukup memberatkan. Sebab, jika diukur dengan kekuatan yang ada, paling tidak harga pakan itu harus berada sekitar Rp 20.000 lebih murah atau sebesar Rp 260.000 untuk tiap saknya," jelasnya.

Atas hal itu Ales beranggapan, banyak peternak burung puyuh yang ada tidak mampu bertahan di tengah-tengah usahanya. Meskipun, dari sisi pasar, penjualannya tergolong sangat mudah untuk dilakukan para peternaknya. "Alhasil karena tidak pandai, beternak burung puyuh ini bukannya untung melainkan rugi," terangnya.

Soal kemampuan, beternak burung puyuh yang dikelola Ales ini sudah banyak mendapatkan sejumlah piagam penghargaan. Seperti halnya sertifikat yang dikeluarkan dari Dinas Peternakan, baik tingkat provinasi Sumatera Utara maupun Kabupaten Deli Serdang.

Selain itu, penghargaan dari Institusi pendidikan juga telah berhasil diraihnya. Hal itu juga dapat terlihat dari sertifikat yang dikeluarkan oleh Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU), atas kemampuan dan jasa dari orang tua Ales dahulu.

Soal jumlah populasi kandang, peternakan burung puyuh milik Ales saat ini tergolong cukup tinggi. Jumlahnya sebanyak 9.000 ekor burung puyuh betina, yang terus berproduksi sebanyak 7.500 telur setiap harinya.

Ales kembali menjelaskan, meskipun peternak burung puyuh sering terdesak dengan gerak harga dari pakan ternak, tetapi dunia peternakan untuk burung puyuh tersebut dianggapnya masih relatif stabil. Kendati, tidak banyak peternak yang berani mengembangkan populasi kandangnya dalam jumlah yang banyak.

Di samping itu, kemajuan dan perkembangan jumlah penduduk juga dianggap menjadi penyebab peternakan burung puyuh semakin terpinggirkan.

Keberadaannya, semakin tergerus oleh pembangunan, baik itu untuk pemukiman penduduk dan gencarnya perkembangan bisnis perumahan (properti).

"Di situ juga yang menjadi salah satu permasalahan. Soalnya dalam beternak burung puyuh ini kan harus dalam suasana yang sepi dan tenang. Kalau ramai dan bising, tidak bagus untuk pertumbuhannya. Itu makanya, peternakan burung puyuh ini semakin lama semakin jauh berada di pelosok, dan itu yang kini menjadi tantangannya," paparnya.

Sementara dari sisi kesehatan ternak, Ales mengatakan tetap bergantung kepada suntikan vaksinasi. Hal itu merupakan upaya proteksi yang dapat dilakukan peternak, dalam menghadapi perubahan iklim.

"Umur 3 minggu harus diberi vaksin. Soalnya jika tidak, burung puyuh mudah terserang penyakit "ngorok". Sehingga dengannya dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya kematian hewan ternak dalam jumlah yang relatif sangat besar apabila terserang," pungkasnya. (rozie winata)
http://medanbisnisdaily.com/news/read/2014/08/11/110800/budidaya_burung_puyuh_semakin_terpinggirkan/  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label