Jumat, 30 Mei 2014

Usaha telor puyuh yang mudah

Menggiurkankah berternak puyuh untuk menghasilkan telur puyuh?
Sederhananya, mari kita hitung dengan cara sederhana pula.
  1. Puyuh siap bertelur (Pullet) akan menghasilkan telur antara 200-300 per tahun atau 54% – 82% per tahun.  Jika pemeliharaan baik, bisa dicapai 300 butir per tahun, jika seadanya hanya sekitar 55% saja.  Ambil angka moderat : 70%  atau 250 butir per tahun.
  2. Kebutuhan pakan Standar 20-24 gram per hati.  Ambil tengahnya : 22 gram per hari.  Harga pabrik per 1 Juni 2013 Rp 270.000,- per karung (50 kg) atau Rp 5400 per Kg, atau kebutuhan pakan puyuh = 22/1000 x Rp 5400,- = Rp 119,- (bulatkan Jadi Rp 120,-).
  3. Dalam setahun butuh pakan 120 x 365 hari = Rp 43.800,-
  4. Harga telur Rp 20.000,- Per Kg (rata-rata 100  butir) atau Rp 200 per butir (harga di tingkat peternak). Dalam satu tahun 250 butir kali Rp 200 = Rp 45000.-
  5. Jadi keuntungan kotor “moderat” yang bisa diraih dalam satu tahun adalah Rp 45 ribu – Rp 43.800,- = Rp 1.200.  Kalau harga telur puyuh per kilo 25000 atau Rp 250 per butir, maka keuntungan menjadi Rp  62.500 – Rp 43.800,-  = Rp 18.700 per puyuh per tahun.  Ini tentu cukup baik (tapi ini tidak terjadi).
Asumsikan :
Jika bisa bertelur 100% atau setahun 365 butir, maka keuntungan kotor menjadi Rp 73 ribu – 43.800,- = Rp 29.200 (menggiurkan, tapi tidak mungkin).
Jika bisa bertelur 90% atau setahun 328 butir, maka keuntungan kotor Rp 65000  Rp 43.800,- = Rp  21.800,-.
Jika bisa bertelur 80% atau setahun 292 butir, maka keuntungan kotor menjadi Rp 54.000, – Rp 43. 8 ribu = Rp 14.600,-
JIka bisa bertelur 70%, harga telur Rp 20 ribu per Kg (harga rata-rata di tingkat peternak per 1 Juni 2013), tidak ada telur yang pecah, retak, atau sebab lainnya, maka keuntungan beternak puyuh hanya Rp 1200,- per tahun dari seekor puyuh yang hidup sehat selama setahun.
Kalau harga pullet (puyuh siap telur Rp 9000,- per ekor maka modal akan dikembalikan dari keuntungan, maka Rp 9000/1200,- tahun atau baru kembali setelah beberapa tahun?.  Jelas ini juga tidak mungkin, karena umur puyuh hanya sekitar satu setengah tahun.
Jadi, jika ini kondisinya, bersiap-siaplah untuk rugi selama-lamanya. Beternak telur puyuh untuk menjual telurnya dapat disimpulkan tidak akan memberikan keuntungan apa-apa.  Dengan kata lain, bersiaplah untuk bangkrut !.
Ini tidak dibahas soal tenaga kerja, listrik, biaya kandang, biaya obat-obatan dan lain-lain.  Kalau harga telur puyuh naik , misal menjadi Rp 25 ribu/Kg di tingkat peternak, maka potensi keuntungan akan cukup menggiurkan.
Kalau berhasil dalam satu tahun bisa menghasilkan 80%, harga stabil, dan tidak ada kenaikan harga pakan, maka usaha puyuh cukup menjanjikan.  Jika punya 1000 dan tidak ada yang mati satupun dengan keproduktifan 80%, maka akan meraih keuntungan 14,6 juta, atau Rp 1,1 juta per bulan.  Namun, fakta bisa 80% dalam satu tahun (12 bulan), sepanjang pengenalan saya sampai saat ini belum ada.  Kalau dalam beberapa bulan (4-6 bulan) pada produktifitas 80% sih cukup banyak.  Itu pun masih diasumsikan, puyuh tidak ada stress, tidak ada perubahan signifikan pada cuaca dan aspek-aspek lain yang menganggu kestabilan peternakan.
Jadi bagaimana bisa untung?.
  1. Bisa menjual bibit puyuh dan puyuh siap telur dengan harga Rp 9000 – Rp 10.000,- maka akan menguntungkan, karena potensi los dari puyuh telah diserahkan kepada peternak pembeli yang akan sibuk berkutat dengan persoalan pakan dan pemeliharaan puyuh.  Potensi keuntungan telah diambil terlebih dahulu.  Hal yang sama dengan menjual DOQ (bibit puyuh).  Namun, ini pendekatan yang berbeda dengan berusaha untuk menjual telur puyuh hasil peternakan.  Seperti pada komentar di PuyuhJaya.
  2. Bisa menekan pembelian pakan dari Rp 5400,- (Pakan Pabrik) dengan pakan campuran atau murni buatan sendiri, sehingga harganya bisa mencapai Rp 4000,-/Kg atau lebih rendah lagi.  Tanpa usaha serius di sini, biarpun bertelur 80%, maka hasilnya bisa-bisa gigit jari.  Potensi untuk merugi karena fluktuasi harga pakan pabrik yang cukup tinggi akan menguras kantorng peternak.  Jika ini berhasil dilakukan, maka andaipun hasil telur puyuh hanya 51%, maka meskipun tidak bisa mengembalikan investasi, tetap yang sudah roda produksi puyuh setiap hari bisa bertahan hidup.  Jika bisa mempertahankan produksi 70% bertelur, maka investasi akan kembali kurang lebih dalam 6 bulan (biaya untuk pullet), dan masih mengharapkan laba usaha dari penjualan telur.  Gejolak harga telur dan pakan yang mencekik juga bisa dikendalikan.  Potensi untuk menghasilkan untung terbuka.
  3. Jika merujuk pada analisis Puyuh Jaya  yang menghasilkan keuntungan lumayan (sebesar hampir 6 Juta, selama 44 minggu atau kurang lebih 11 bulan — anggap saja satu tahun) atau Rp 500 ribu per bulan, dengan mengabaikan berbagai varian operasional, seperti listrik, tenaga kerja, beban lain-lain).  Jika anggap saja dihitung satu tahun, maka keuntungan beternak puyuh dari 2000 ekor menjadi Rp 6 Juta/2000 = Rp 3000,- Atau dengan kata lain, seekor puyuh memberikan keuntungan Rp 3000 selama satu tahun atau sehari memberikan keuntungan Rp 8,2 (delapan koma 2 rupiah) saja.!.  Menggiurkankah?.  HItungan ini belum ditambahkan puyuh apkir yang nilainya sebesar Rp 3,2 jutaan.   Keuntungan ril dari apkir adalah kombinasi keputusan terhadap waktu apkir, biaya pakan, dan produktifitas.  Telat satu hari mengapkir, beban biaya pakan tentu bertambah.
Analisis dari Puyuh Jaya.
Saya tidak menjumpai kesalahan fatal dari model hitungan yang diberikan.  Sah-sah saja.  Bahkan, dengan tingkat kematian 10 ekor per minggu, menurut saya terlalu tinggi.  Apa benar demikian?.  Karena perhitungan kematian yang tinggi (hampir 25% dalam satu tahun), maka dikompensasikan dengan jumlah telur yang standarnya cukup signifikan.  Misal, dari minggu ke 3 (Puyuh usia 45 hari) sudah bertelur 30%, minggu berikutnya sudah 80% (setiap hari 80%), dan seminggu berikutnya 83% sampai minggu ke 8.
Kesimpulan akhirnya, dari model yang ditawarkan adalah seekor puyuh dari kemitraan itu memberikan laba kotor sebesar 8 rupiah per hari.  Selama periode perhitungan, telah dihasilkan sebanyak 400.672 butir.  Dengan asumsi semua telur utuh, tidak ada yang pecah, retak, tidak ada biaya pengepakan dan lain-lain telah memberikan keuntungan 6 juta atau 6 juta dibagi jumlah telur = Rp 15 ,-
Jadi setiap butir seharga Rp 175 menghasilkan profit sebesar Rp 15,- atau 9%.  Untuk keuntungan 9% tidak terlalu jelek (karena dihitung harian).  Namun, untuk penjualan eceran dengan harga 175, untung kotor Rp 15,- bukanlah angka yang menarik jika dibandingkan dengan biaya operasional dan waktu yang harus dicurahkan.  Tidak menarik karena masih banyak bisnis eceran lain yang memiliki profit lebih baik dari pada beternak puyuh.
Jadi,  masihkah keuntungan beternak puyuh menggiurkan?.
Bagaimana jika terjadi kenaikan harga pakan?, jatuhnya harga telur puyuh yang memang pada periode-periode tertentu harga tidak terlalu baik.
Masihkah Berminat Beternak Puyuh?.
Ya, mengapa tidak.
  1. Harga umum untuk pullet (puyuh siap telur) berkisar antara 9000 -11000 rupiah.  Artinya investasi untuk pullet sebanyak 1000 ekor akan sebesar 9 -11 juta rupiah.  Jika merujuk ke analisis Puyuh Jaya, biaya perbesaran Rp 7 juta per 2000 ekor (atau Rp 3500 per ekor) pada hitungan Juli 2011.  Harga pullet saat 2011 saya tidak tahu, tapi asumsikan sekitar Rp 7000.-.  Jadi, jika peternak baru membeli pullet dengan harga saat ini 9000, dan ditarik ke belakang, sebesar ke asumsi puyuh jaya, maka untuk 2000 ekor dibutuhkan Rp 14 juta.  Ini artinya, usaha beternak puyuh petelur dengan membeli puyuh siap telur adalah BUNUH DIRI.  Mengapa?, karena semua potensi keuntungan telah diambil oleh penjual pullet.  Selama setahun untung kotor 6 juta, beli pullet Rp 14 Juta (Rp 7000 per ekor).  Jika variabel ini ditarik ke tahun 2013, hasilnya akan sama juga.
  2. Dari asumsi di atas (dan telah penulis rasakan sendiri), maka keputusan yang diambil adalah.  Belilah DOQ (bibit puyuh umur sehari – seminggu), lalu urus sendiri sehingga potensi keuntungan masa depan, tidak tergadaikan karena membeli pullet.
  3. Akan lebih baik, jika menetaskan sendiri.  Dengan harga telur sekitar Rp 200,- (karena potensi jantan dan betina 50%-50%), maka kali dua menjadi Rp 400,- lalu beli mesin tetas sendiri, maka biaya investasi awal akan lebih hemat.
  4. Pelajari dan manfaatkan pakan pabrik dan sumber pakan lain untuk mensubstitusi yang berasal dari lingkungan sekitar.  Tanpa pengetahuan dan kemampuan untuk menekan biaya pakan pada angka yang signifikan, bisa dipastikan bahwa awal beternak puyuh akan berjalan di tempat.  Biaya terbesar ternak puyuh (dan juga unggas lainnya) ada 5, yaitu 1. Pakan, 2. Pakan, 3. Pakan, 4. Harga Pullet yang melambung (keuntungan penjual bisa 100% dalam satu bulan), 5. Resiko penyakit unggas.
Jadi masih tergiur beternak puyuh?.
he…he…he… apapun, kita harus optimis.  Kalau memang masalahnya bisa dipelajari, tentu solusinyapun ada…..
 http://limbahdanternak.wordpress.com/2013/06/02/seberapa-minggiurkankah-beternak-puyuh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label