Minggu, 27 April 2014

4.Penting Hortikultura

PENGERTIAN HORTIKULTURA
Kata Hortikultura (Horticulture) berasal dari Bahasa Latin ‘hortus’  yang artinya kebun dan ‘colere’ yang artinya membudidayakan.  Jadi hortikultura adalah membudidayakan tanaman di kebun.  Konsep ini berbeda dengan Agronomi, yang merupakan membudidayakan tanaman di lapangan.  Budidaya di kebun bersifat lebih intensif, padat modal dan tenaga kerja.  Namun, hortikultura akan akan menghasilkan pengembalian, apakah berupa keuntungan ekonomi atau kesenangan pribadi, yang sesuai dengan usaha yang intensif tersebut.  Praktek hortikultura merupakan tradisi yang telah berkembang sejak sangat lama.  Hortikultura merupakan perpaduan antara ilmu, teknologi, seni, dan ekonomi.  Praktek hortikultura modern berkembang berdasarkan pengembangan ilmu yang menghasilkan teknologi untuk memproduksi dan menangani komoditas hortikultura yang ditujukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi maupun kesenangan pribadi.  Dalam prakteknya, semua itu tidak terlepas dari seni.
Komoditas hortikultura berbeda dengan komoditas agronomi.  Pada umumnya komoditas hortikultura dimanfaatkan dalam keadaan masih hidup sehingga perisibel (mudah rusak), dan air merupakan komponen penting dalam kualitas.  Di lain pihak, komoditas agronomi dimanfaatkan sesudah dikeringkan, sehingga tidak hidup lagi.  Tergantung pada cara pemanfaatannya, suatu spesies yang sama bisa tergolong menjadi komoditas hortikultura atau agronomi.  Sebagai contoh, jagung (Zea mays).  Jagung yang dipanen muda untuk sayuran (baby corn) atau sebagai jagung manis rebus (sweet corn) adalah komoditas hortikultura, tetapi jagung yang dipanen tua untuk makanan pokok, tepung maizena, atau makanan ternak adalah tanaman agronomi.  Jagung tersebut walaupun sama spesiesnya, tetapi cara produksi dan pemanfaatan hasilnya sangat berbeda.  Demikian pula kelapa, kalau dipanen muda untuk es kelapa, buah ini termasuk hortikultura, tetapi kalau dipanen tua untuk santan atau produksi minyak, dia menjadi komoditas agronomi.
Budaya masyarakat juga mempengaruhi penggolongan tanaman.  Sebagai contoh, kentang di Indonesia adalah tanaman hortikultura, tetapi di Amerika Serikat termasuk tanaman agronomi.  Ubi jalar di Indonesia adalah tanaman agronomi, tetapi di Jepang adalah tanaman hortikultura.  Yang menarik adalah kelompok tanaman industri seperti kopi, kakao, teh di Indonesia digolongkan pada tanaman agronomi, padahal ini adalah tanaman kebun yang secara Internasional seringkali masuk dalam kelompok tanaman hortikultura.
Komoditas hortikultura adalah kelompok komoditas yang terdiri dari buah-buahan, sayuran, bunga, tanaman hias dan tanaman biofarmaka.  Kalau dilihat dari cara penggunaan, habitus tanamannya maupun fungsinya, nampaknya kelima kelompok anggota hortikultura merupakan komoditas-komoditas yang sangat berbeda satu dengan yang lain.  Buah-buahan dan sayuran dikonsumsi sebagai pangan manusia, sedangkan bunga dan tanaman hias tidak dimakan, dan tanaman obat lain lagi penggunaannya.  Pohon buah-buahan sebagian besar habitusnya adalah pohon, sedangkan sayuran adalah herba.  Tetapi sebenarnya seluruh komoditas hortikultura mempunyai ciri penting yang sama satu dengan yang lain.  Ciri-ciri penting inilah yang menyebabkan komoditas tersebut dikelompokkna sebagai hortikultura.  Ciri-ciri tersebut adalah:
  1. Komoditas ini (sebagian besar) dipasarkan dalam keadaan hidup.  Artinya suatu saat akan mati/rusak dan tidak ada nilainya.  Konsekuensinya penanganan pasca penen komoditas ini sangat penting.  Tanpa penanganan pasca panen yang baik, maka kerusakan dan penurunan mutu akan berlangsung dengan cepat.
  2. Komoditas ini mudah rusak.  Artinya komoditas ini tidak dapat disimpan lama, harus segera dipasarkan dan dikonsumsi.  Konsekuensinya adalah bahwa penyimpanan dalam waktu lama sulit untuk dilakukan.  Dengan demikian, setelah diproduksi komoditas ini harus segera dipasarkan.  Karena itu, perencanaan produksi harus dilakukan dengan cermat.  Siapa target konsumen, kapan dan dimana komodi­tas ini diperlukan oleh konsumen harus diketahui dengan pasti.  Juga harus diketahui kapan pesaing memproduksi komoditas yang sama.  Tanpa perencanaan yang cermat, maka produsen akan menjadi obyek dalam fluktuasi harga yang dapat sangat tajam.  Sebagai contoh untuk cabe; pada bulan Februari 1996 harga cabe di pasar Ciputat Jakarta mencapai Rp 20.000,-/kg, dan pada tahun yang sama bulan Agustus harga di Brebes (pusat produksi utama cabe) turun drastis hingga hanya mencapai Rp 300,-/kg (harga ini di bawah biaya produksi yang mencapai Rp 400,-/kg).
  3. Komoditas ini diperdagangkan dengan kandungan air tinggi dan meruah (voluminous).  Artinya untuk pengangkutan dan penggudangan memerlukan ruang yang luas.  Transportasi lewat udara memerlukan biaya yang tinggi karena kandungan air.
  4. “Kualitas” adalah kata kunci pada komoditas ini.  Produk hortikultura yang tidak berkualitas tidak ada harganya.  Perbedaan kualitas menimbulkan perbedaan harga yang menyolok.  Kualitas tidak selalu berasosiasi dengan rasa yang manis saja (karena ada perbedaan selera akan rasa pada berbagai bangsa).  Tetapi kualitas lebih sering berasosiasi dengan penampakan.  Pisang Cavendish yang mulus kulitnya dan cukup tahan disimpan tanpa perubahan pada kulit dianggap berkualitas dibandingkan dengan pisang Barangan yang berbintik-bintik kulitnya.  Padahal dari rasa (bagi orang Indonesia) pisang Barangan jauh lebih enak daripada pisang Cavendish.  Melon yang benihnya dari Indonesia yang lebih manis dan berair dihargai hanya 400 yen di Jepang hanya karena jala pada kulit buahnya tidak teratur.  Sedangkan melon yang jalanya teratur rapi, walaupun rasanya kurang manis dihargai jauh lebih tinggi.  Dalam hal kualitas (dalam arti penampilan) masyarakat kita mempunyai kelemahan.  Filsafat masyarakat kita (terutama masyarakat Jawa) bahwa “Wajah jelek tidak apa-apa, yang penting hatinya baik” membawa dampak pada kualitas penampilan produk hortikultura kita.  Masyarakat kita kurang memperhatikan penampilan, yang penting rasanya enak.  Sedangkan masyara­kat internasional lebih mementingkan penampilan.  Sebenarnya komoditas hortikultura berkualitas tinggi dapat kita produksi, asal masyarakat mau menghargai kualitas.  Kalau produk berkualitas dinilai lebih tinggi daripada produk yang tidak berkualitas, tentu produsen akan berusaha menghasilkan produk berkualitas.  Untuk itu budaya kualitas pada konsumen harus diubah.
  5. Komoditas ini tidak dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat, tetapi sebagai sumber vitamain, mineral atau kesenangan.  Sebagai sumber kesenangan, maka sekali lagi kualitas merupakan hal yang sangat penting.  Sumber kesenangan ini bukan hanya untuk produk bunga dan tanaman hias, tetapi juga untuk buah dan sayuran.  Lebih banyak orang makan buah dengan pertimbang­an karena buah itu enak dan menyenangkan daripada karena buah itu banyak mengandung vitamin dan mineral.
  6. Komoditas ini diproduksi secara intensif.  Karena kualitas penting, komoditas ini (terutama bunga, tanaman hias dan sayuran) biasanya diproduksi secara intensif.  Produksi komoditas ini padat modal dan padat tenaga kerja, tetapi menjanjikan keuntungan yang tinggi.  Karena itu pusat produksi hortikultura menjadi pusat pertumbuhan ekonomi.
  7. Komoditas ini memerlukan penanganan pasca panen yang baik.  Ini merupakan konsekuensi dari tuntutan terhadap kualitas, dan karena komoditas ini mudah rusak.
  8. Komoditas ini biasanya memberikan pemasukan yang baik.  Komoditas hortikultura di Indonesia seringkali diusahakan dalam skala usaha yang sempit, tetapi memberikan hasil ekonomi yang tinggi.  Sayuran dan bunga sering ditanam hanya dalam luasan beberapa ratus atau ribu meter persegi seringkali memberikan penghasilan yang lebih tinggi dari pada pendapatan petani padi, jagung atau singkong dengan luasan yang jauh lebih luas.  Namun modal yang diperlukan untuk mengusahakan tanaman hortikultura juga lebih banyak daripada tanaman agronomi.
  9. sumber: http://dasarhortikultura.wordpress.com/arti-penting-hortikultura/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label