Keberhasilan David Neeleman didunia penerbangan teruji dengan kesuksesan memimpin Moris Air, JetBlue dan juga Azul. Menekuni bisnis penerbangan saat ini hampir tak ada bedanya dari berselancar di lautan berombak dahsyat. Menantang, tapi sekaligus berisiko tinggi. Bagi yang tak piawai, siap-siaplah terlempar dan tenggelam ke dasar lautan. Namun, buat mereka yang mampu menangkap kepala gelombang ombak dan menjinakkannya, kepuasan tak terhingga akan dirasakan, termasuk oleh yang menyaksikannya.
David Neeleman adalah pendiri JetBlue, maskapai penerbangan dengan biaya rendah pada bulan Februari 1999, di bawah nama “NewAir.” Itu salah satu dari hanya beberapa perusahaan penerbangan AS yang membuat keuntungan selama penurunan tajam dalam perjalanan penerbangan setelah serangan 11 September 2001.
Pada bulan Oktober 2005, JetBlue mengumumkan bahwa laba kuartalannya telah jatuh dari US $ 8,1 juta menjadi $ 2.700.000 terutama disebabkan kenaikan biaya bahan bakar. Masalah operasional, harga bahan bakar, dan harga rendah yang membawa kinerja keuangannya JetBlue turun. Pada bulan Februari 2006, JetBlue mengumumkan kerugian pertama. Untuk kuartal 4 tahun 2005, maskapai kehilangan $ 42.400.000. Kerugian maskapai pertama sejak go public pada tahun 2002. JetBlue juga melaporkan kerugian pada kuartal 1 tahun 2006. Pada tahun 2007, David Neeleman didorong keluar dari tempat teratas oleh perusahaan yang ia dirikan delapan tahun sebelumnya.
Tamsil mengenai beratnya situasi bisnis penerbangan seperti di atas bisa dibuktikan dengan kenyataan beberapa pemain besar yang selama bertahun-tahun (hingga tahun 2000) menikmati rezeki udara ini sekarang tengah berjuang mati-matian agar lolos dari ambang kehancuran. Belum lama ini, Delta Airlines dan Northwest Airline baru saja masuk ke dalam Chapter 11 — kode yang mengatur proses restrukturisasi di bawah undang-undang kepailitan Amerika Serikat — bergabung dengan dua maskapai besar lainnya yang lebih dulu masuk: United Airlines (filing date 9 Desember 2002) dan US Airways (12 September 2004).
Namun, di sisi lain, JetBlue yang baru berdiri pada Juli 1999, di tangan CEO-nya, sang maestro bisnis penerbangan David Neeleman, masih terus menikmati pertumbuhan bisnis spektakuler, yang hingga saat ini diperkirakan hampir 30% per tahun. Maskapai yang lebih bangkotan, Southwest Airline, juga masih bisa tumbuh 8%-10% per tahun. Di kancah regional Asia Tenggara, berkah semacam itu pun masih dinikmati Tony Fernandes yang baru menerbangkan Air Asia pada Desember 2001. Lalu di Indonesia, Lion Air yang dibesut Rusdi Kirana dan relatif muda usia pun mampu merampas pangsa pasar secara signifikan dari para pemain lama seperti Garuda. Artinya, meski situasinya lagi berat, bukan mustahil para pelaku industri ini masih bisa menikmati kelezatan bisnisnya.
Memang, harus diakui, selama beberapa tahun sisi muramnya lebih besar ketimbang sisi cerahnya. Sebagai gambaran, selama 2001-04 industri penerbangan AS merugi lebih dari US$ 32 miliar. Pada 2005 diperkirakan kerugian itu mencapai US$ 10 miliar. Adapun kalau dihitung secara agregat, seperti diprediksi International Air Transport Association (IATA), industri penerbangan di dunia tahun ini merugi US$ 2,2 miliar. Ini sudah suatu kemajuan, karena tadinya pada prediksi Desember 2005, kerugian penerbangan dunia diperhitungkan akan mencapai US$ 4,3 miliar.
Boleh dibilang, industri penerbangan Amerika Utara, terutama AS, paling menderita dibandingkan dengan kawasan penting lainnya. Bayangkan saja, di AS sekarang 70% kapasitas seat terisi penuh, tapi hanya satu maskapai, yakni Southwest, yang secara reguler membukukan profit. Beruntung, tahun ini maskapai-maskapai di kawasan ini diperkirakan IATA bisa mengurangi kerugian mereka dari US$ 10,8 miliar tahun lalu menjadi US$ 5,4 miliar tahun ini. Sebagian besar disebabkan pengurangan kapasitas domestiknya. Sementara itu, kawasan Asia Pasifik dan Eropa masih mampu membukukan profitabilitasnya walau menurun. Tahun ini diperkirakan industri penerbangan Asia Pasifik mencapai keuntungan US$ 2 miliar, menurun dibandingkan dengan tahun 2005 yang mencapai US$ 2,9 miliar. Dengan pola yang hampir sama, industri penerbangan Eropa juga diperkirakan menurun profitnya, dari US$ 1,8 miliar pada 2005 menjadi US$ 1,4 miliar pada 2006. Untuk kasus Eropa ini, sebagian besar karena langkah konsolidasi dan program lindung nilai bahan bakar (fuel hedging) yang dilakukan tahun ini.
Menurut kajian berbagai kalangan, banyak faktor yang membuat industri penerbangan dunia, apalagi di AS, belum menggembirakan. Mulai dari melambatnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya volume perjalanan bisnis dan di sisi lain kapasitas yang berlebih, serangan teroris 11 September, epidemi SARS, tingkat persaingan yang makin tinggi (terutama akibat serbuan kalangan maskapai berbujet rendah alias low cost carrier [LCC]), serta yang paling merepotkan adalah melonjaknya harga bahan bakar.
Walau kalangan maskapai tradisional AS sudah berupaya memperbaiki keadaan, antara lain dengan mereduksi biaya, bukan berarti kerunyaman sudah pergi. Dengan resminya Delta dan Northwest memasuki koridor Chapter 11, praktis kini hampir separuh kapasitas industri penerbangan di negeri itu dilayani para operator yang berada dalam bayang-bayang kebangkrutan.
Memang, kepailitan bukanlah hal baru bagi industri penerbangan AS. The Government Accountability Office (GAO) mencatat, sejak deregulasi industri ini pada 1978, telah didaftarkan 160 kasus kepailitan. Dari jumlah itu pun hanya ada 22 kasus dengan maskapai yang punya aset lebih dari US$ 100 juta. Artinya, sebagian besar maskapai yang terperangkap kasus kepailitan adalah maskapai-maskapai kecil. Hanya saja, yang menyesakkan, 20 kasus kepailitan ini terjadi dalam lima tahun terakhir. Sudah begitu, ukuran maskapai yang mendeklarasikan kepailitan makin meningkat dalam tahun-tahun terakhir.
Secara historis, industri penerbangan sudah dikenal punya kinerja keuangan paling buruk di antara industri lain. Setelah selama beberapa tahun menikmati keuntungan, kinerja finansial para operator mulai menurun sejak deregulasi 1978. Menurut GAO, instabilitas seperti ini disebabkan struktur industri penerbangan sendiri, antara lain permintaan terhadap transportasi udara yang amat volatil dan cyclical, fixed cost-nya yang tinggi, dan entry barrier-nya yang rendah.
Berdasarkan penelitian GAO, ternyata likuidasi tak menyebabkan kapasitas industri penerbangan di AS menurun. Pasalnya, ada saja maskapai lain yang justru menambah kapasitasnya. Malah, bersamaan dengan Delta mendaftarkan perlindungan kepailitan itu, yang berimplikasi pada pengurangan kapasitasnya, LCC seperti Southwest dan JetBlue justru menambah pesawat dan kapasitasnya. Ini masih ditambah ada 17 maskapai baru yang tengah menunggu sertifikasi dari Departemen Transportasi AS.
Yang membuat para network carrier (large carrier) tradisional bertambah repot juga munculnya persaingan dengan kehadiran LCC. Kalangan LCC – juga sering disebut discounter atau budget airlines — saat ini sudah membawa lebih dari seperlima penumpang dengan rute domestik di AS. Ini berarti lebih dari dua kali dibandingkan dengan kondisi 10 tahun lalu. Artinya, jelas memang ada tumpang tindih atau perebutan antara network carrier dan kalangan discounter itu. Dan, kelebihan LCC ini karena bisa mendiktekan tarif pada rute penerbangannya itu. Tak mengherankan, pangsa pasar LCC pun meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir. Sebagai contoh, Southwest kini merupakan maskapai penumpang domestik terbesar di AS, yang melayani 60 kota di seantero negeri itu.
Selain serbuan LCC, masalah biaya pensiun yang mesti dikeluarkan kalangan maskapai di AS ikut membuat kondisi para legacy network carrier itu makin morat-marit. Pasalnya, banyak maskapai yang ternyata kekurangan pendanaan (underfunded) dalam menyiapkan benefit pensiun buat karyawannya. Contohnya, pada saat jatuh tempo terminasi benefit pensiun pada Mei 2005, United Airlines kekurangan pendanaan hingga US$ 9,8 miliar. Hampir senasib, US Airways juga kurang US$ 5 miliar pada masa terminasi pensiun karyawannya. Jelas, kewajiban membayar dana pensiun ini amat sulit dipenuhi maskapai yang sedang seret keuangannya — termasuk Delta dan Northwest Airline. Nah, berbeda dari maskapai tradisional yang sedang pusing tujuh keliling itu, kalangan LCC sedari awal berusaha menghindari kesepakatan menentukan benefit plan dengan karyawan, tapi lebih memilih menentukan contribution plan.
Akan tetapi, problem yang dianggap paling berat oleh kalangan industri penerbangan tak lain masalah harga bahan bakar yang melonjak gila-gilaan. Harga minyak mentah mencapai rekornya setelah peristiwa Badai Katrina. Pada 30 Agustus 2005, harga minyak mentah mencapai US$ 69,91/barel. Menurut catatan Air Transport Association (ATA), selama 10 tahun dalam periode 1992-2001, harga tengah minyak mentah hanya US$ 20/barel. Pada 2004, harga tengahnya naik tinggi menjadi US$ 41,44/barel dan pada 2005 harga tengahnya jadi US$ 54,03/barel. ATA memperkirakan harga bahan bakar jet pada 2005 mencapai US$ 70/barel.
Sumber : cessee.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar