Saat pertama mendengar kata “Sosrodjojo” kebanyakan kita tentu akan mengasosiasikannya pada salah satu produk teh. Maklum keluarga Sosrodjojo adalah perintis usaha teh dengan merek Sosro yang sudah ternama di Indonesia. Soetjipto Sosrodjojo memulai usahanya pada 1947, di Slawi Jawa Tengah. Pada 1969, dia kemudian mengembangkan produk teh dalam kemasan botol, Teh Botol Sosro yang kemudian menjadi merek terkemuka di Indonesia hingga kini.
Namun, salah satu trah Sosrodjojo, Indra Sosrodjojo memilih jalan hidup berbeda dengan ayahnya. Indra yang merupakan anak tertua dari keluarga Sosrodojo lebih dikenal sebagai tokoh bisnis piranti lunak di Indonesia.
Bagaimana ceritanya seorang anak dari keluarga pebisnis teh ternama malah lebih dikenal di dunia teknologi informasi? Menurut Indra, ayahnya bukanlah orang yang menuntut anak-anaknya untuk meneruskan bisnis yang dirintisnya. Dan Indra muda saat itu juga lebih menyukai bidang teknologi informasi terutama pada elektronik.
Maka dari itu selepas lulus SMA, pada tahun 1979, Indra memilih kuliah di Fakultas Elektro Universitas Trisakti Jakarta. Bahkan kecintaannya terhadap teknologi informasi (TI) juga ditunjukkannya saat dia memutuskan untuk memberikan kursus komputer di sekolah-sekolah menengah di Jakarta.
Saat lulus dari Trisakti, pria yang murah senyum ini memutuskan untuk meneruskan kuliah di Amerika Serikat dengan mengambil bidang administrasi bisnis di Bridgeport University di Connecticut.
Setelah lulus dan kembali ke Indonesia pada 1985 Indra memilih mengembangkan bisnis di bidang piranti lunak dengan memberikan jasa di bidang komputer. Lahirlah perusahaannya yang pertama, bernama PT Grahacendekia Inforindo yang memberikan jasa perancangan sistem, konsultasi manajemen dan software house.
Setelah beberapa lama berjalan, perkembangan usaha software house terlihat lebih melesat dibanding lainnya. Oleh sebab itu, pada 1992 divisi software memperkenalkan nama dagang “Andal Software”. Sejak tahun 1992 Andal Software memusatkan bisnisnya pada pembuatan software paket untuk masal dan berkonsentrasi pada aplikasi sumber daya manusia (SDM), sistem penggajian (payroll), dan perpajakan. Hingga kini piranti lunak dengan merek Andal sudah memiliki tempat tersendiri di pasar software nasional.
Bahkan Andal Software telah memiliki 100 klien yang berasal dari bidang pertambangan, perbankan, garmen, hotel, manufakturing dan lain-lain. Produk terakhir dari Andal adalah Andal Kharisma 2011 dan Andal Paymaster 2011.
Melihat perkembangan yang cukup fantastis, Indra yang merupakan anak sulung dari enam bersaudara keluarga Sosrodjojo ini yakin bahwa industri software tanah Air akan berkembang meski sekarang masih didominasi perusahaan asing.
Seperti dilansir Surabaya Post, tercatat ada sekitar 200 perusahaan piranti lunak lokal hingga akhir 2011 dan hal itulah yang membuat pria 55 tahun ini optimistis perkembangan industri itu di Indonesia akan melesat.
Melihat besarnya potensi itu
Indra dan perusahaannya pun sudah berancang-ancang untuk memperluas pasar. “Untuk tahun 2012, Andal Software berencana untuk terus berekspansi, dengan menargetkan perusahaan-perusahaan di bidang industri manufacturing.”
Meski demikian, dia tetap memiliki mimpi besar yang harus terwujud, yaitu industri peranti lunak lokal bisa menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. “Pemerintah, bisa berperan banyak dalam mendorong pertumbuhan industri peranti lunak dengan mengambil peran sebagai pemasar piranti lunak lokal,” kata Indra.
Dia mencontohkan apa yang terjadi di Malaysia. Negara jiran itu mempunyai badan yang disebut dengan Multimedia Super Coridor (MSC), suatu badan negara yang membantu perusahaan piranti lunak Malaysia untuk bertumbuh dan berkembang dalam bidang pemasaran dan penelitian. MSC mendorong dan bahkan mengharuskan piranti lunak yang digunakan Pemerintah Malaysia berasal dari perusahaan-perusahaan yang bergabung dalam MSC.
Selain itu, peran lain yang bisa dijalankan pemerintah adalah dengan membangun software park seperti di India dan China. Keberadaan software park itu, kata Indra akan membuat sumber daya akan menjadi satu dan murah seperti koneksi internet dengan jalur yang lebar, harga listrik yang murah, serta pembinaan industri piranti lunak lebih mudah dan murah.
“Inovasi software bagian dari industri kreatif. Pengeluaran biaya TI di Indonesia hingga 2015 akan mencapai 10,2 miliar dollar AS (sekitar Rp91 triliun). Pertumbuhan per tahunnya mencapai 18 persen, lebih besar dari pertumbuhan industri manapun. Ini peluang untuk mengambil sebagian besar pangsa software,” ujar pria kelahiran 1957 ini.
Dalam berbisnis software, Indra mengaku masih merasa perlu untuk tetap fokus di bidang payroll, setidaknya dalam 3-4 tahun ke depan. “Sejauh ini saya rasa masih sedikit yang bemain di bisnis produk TI khusus Payroll, dan kami memang sangat fokus di sana. Terbukti kami sudah 25 tahun ada di industri ini,” tegasnya.
Segmen yang disasar Andal adalah segmen middle high, karena Indra melihat banyak perusahaan besar yang butuh keamanan data yang lebih baik. Pemain di bisnis software payroll saat ini ada sekitar 100-an perusahaan. Saat ini, pengguna software payroll Andal baru 200 customer dengan mayoritas dari sektor manufacturing. “Dari market opportunity 2000 perusahaan, Andal menargetkan hingga 2015 sudah punya 500 customer,” tambahnya.
Dengan visi ‘Helping Others Grow’, Indra Sosrodjojo dengan Andal-nya memutuskan untuk berbagi pengalaman kepada para entrepreneur muda yang ingin merintis bisnis piranti lunak, lewat buku. Buku yang berjudul “Riding the Wave: Strategi ANDAL Menaklukkan Industri Software” membedah dapur perusahaan milik Indra itu lengkap dengan strategi dan rencana jangka panjangnya.
Mengapa Indra bersedia membuka rahasia perusahaan lewat sebuah buku? Menurut dia ada dua alasan mendasar. Pertama adalah alasan filosofis. Jika banyak yang membaca buku ini, dan kemudian mendorong banyak pelaku industri piranti lunak tumbuh, maka pasar software di Indonesia pun akan menjadi besar.
“Jelas, buat kami, lebih enak bermain di pasar yang besar dibandingkan bermain di pasar yang belum tumbuh. Apalagi, mission statement kami sebagai perusahaan adalah ‘Helping Others Grow’,” tukas Indra. Kedua adalah demi strategi bisnis. Jika strategi dan rencana Andal Software ditiru perusahaan software lain, mereka akan memerlukan waktu untuk mengejar, dan pada saat itu kami mungkin sudah melaju jauh ke depan. “Jadi, seperti sebuah iklan, kenapa takut?” kata dia.
Dan sepertinya, apa yang dilakukan Indra memang mulai menuai hasil. Tahun ini diperkirakan perusahaan-perusahaan software baru akan bertambah menjadi dua kali lipatnya dari jumlah tahun lalu. Mungkin tidak seluruhnya dari perkembangan itu merupakan imbas dari langkah Indra, tapi bukan berarti perannya tidak besar. Mungkin atas sebab itulah, Indra dikenal dengan sesepuh bisnis software lokal.
Menurut Indra, selama menekuni bisnis software, prestasi paling dibanggakan dari Andal Software adalah bisa membuat paket software dan digunakan hampir di seluruh perusahaan bergengsi di tanah Air, sekaligus dikenal sebagai produk payroll paling baik di kelasnya. “Selebihnya, prestasi tertinggi saya adalah bisa berkarya di bidang TI selama 25 tahun sampai hari ini,” katanya.
Indra melihat bisnis kursus komputer tidak akan berjalan lama. Pada 1988, dia mendirikan perusahaan pengembang peranti lunak bernama Grahacendekia Inforindo dengan nama produk Andal Software. “Modalnya dari usaha kursus komputer,” tutur dia.
Bisnis pembuatan peranti lunak pesanan pada awalnya cukup menguntungkan. Tak hanya membuat peranti lunak sesuai dengan pesanan, Indra juga membuat produk peranti lunak yang dijual secara massal. Kala itu dia menggandeng Elex Media Komputindo untuk memasarkan produknya. Hasilnya cukup bagus. Pendapatan dan pelanggan Andal juga banyak.
Tapi, ternyata pelanggan yang banyak tidak membuat perusahaannya makin untung. Sebab, pelayanan yang harus diberikan juga harus ekstra. Akibatnya banyak pekerjaan yang tak bisa selesai tepat waktu dan banyak pelanggan memprotes. Banyak pelanggan yang lantas memutuskan kontrak. Praktis pemasukan pada tahun 2002 nol. Padahal, dia tetap harus menggaji karyawan. “Saat itu, saya boleh dibilang habis. Saya rugi besar,” tutur Indra dengan tatapan menerawang. Nilai kerugian yang dia tanggung miliaran rupiah. Dia mengaku kehilangan aset pribadi berupa ruko, mobil, dan lainnya. Ia bahkan hampir menutup usahanya saking sudah putus asa.
Tapi, ada dua hal yang membuatnya terus bertahan: menghargai karyawan yang sudah lama bekerja dengannya dan dukungan saran dari orang terdekat. Indra pun bangkit dengan membuat produk baru. “Saya masuk ke software PayMaster di tahun 2004,” tuturnya.
Indra tak lagi memproduksi peranti lunak untuk dijual massal. Dia lebih menekankan membuat peranti lunak untuk korporasi. Hasilnya, bisnisnya kini memang lebih stabil.
Kegagalan mengelola perusahaan di masa lalu membuat Indra banyak belajar. “Dulu, saya hanya mempelajari teori manajemen bahwa orang itu harus dikontrol, dikasih target, dan diawasi. Tapi, ternyata dengan begitu kreativitas mereka malah berhenti,” ujarnya. Karena itu, kini dia mencoba mendistribusikan pekerjaan.
Indra juga banyak berdiskusi dengan anak buahnya. “Saya lebih santai sekarang. Beban saya jauh lebih ringan walau permasalahan masih ada,” kata dia. Ke depan, dia berharap Andal bisa menguasai pasar peranti lunak sampai 30%. Selain itu, ia menargetkan bisa merambah pasar di Asia Pasifik.
Sumber : ciputraentrepreneurship.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar