Ide untuk berwirausaha memang banyak macamnya. Bahkan sesuatu yang kecil dan sepele seperti stik es krim bisa menghasilkan ratusan juta rupiah per bulan. Tidak percaya? Baca profil Doni Indra, pengusaha stik beromzet 6 juta batang stik es krim per bulan yang saya ambil dari kompas.com.
Tak hanya es krim saja yang butuh gagang atau stik. Lihat saja, stik yang biasanya hanya untuk es krim itu kini bisa juga dipakai untuk gagang penganan dari cokelat atau nugget. Bahkan, salon kecantikan juga butuh stik. Dengan harga berkisar Rp 10 sampai Rp 22 per batang, pembuat stik bisa meraup omzet hingga ratusan juta rupiah. Stik atau tusuk kayu berbentuk pipih yang biasa dipakai untuk gagang es krim ternyata juga dibutuhkan untuk gagang penganan seperti cokelat ataupun nugget.
Itulah sebabnya, barang kecil seukuran 9 cm sampai 12 cm ini bisa menghasilkan keuntungan yang gede. Apalagi, kini salon kecantikan pun membutuhkan stik ini. Salah satu produsen sendok dan stik es krim ini adalah Doni Indra. Walau baru memulai bisnis pada 2011, pemilik CV Elang Manunggal di Tangerang ini sudah menangguk pesanan stik dan sendok es krim dalam jumlah besar. “Produk ini termasuk barang repeat order sehingga pesanan terus datang,” katanya.
Stik dan sendok es krim termasuk barang repeat order karena sifatnya sekali pakai. Tak hanya es krim, beberapa produk makanan lain seperti cokelat dan nugget juga banyak yang menggunakan produk ini. Bahkan, menurut Doni, permintaan juga acap datang dari salon kecantikan untuk mengaduk krim. Meski jumlah permintaan dari salon kecantikan tidak besar, pesanan selalu datang tiap bulan. Saat ini, Doni mengaku telah mengantongi delapan pelanggan tetap.
Dari pelanggan-pelanggannya itu, Doni mengungkapkan, bisa menjual sekitar 6 juta batang stik es krim per bulan. Bahkan, jika permintaan melonjak, dia sering menggandeng perajin stik tradisional. Dengan harga Rp 17-Rp 22 per batang, Doni tak sungkan menyatakan mampu meraup omzet hingga sebesar Rp 100 juta per bulan. Dari total omzet sebesar itu, setidaknya Doni bisa membawa pulang sebesar 15 persen.
Tentu saja stik es krim itu tidak dijual satuan, tetapi dikemas dalam karton berisi 20.000 batang. Untuk memproduksi stik es krim, Doni menggunakan mesin rakitan sendiri. Kapasitas mesin yang dipakainya sekitar satu juta batang per hari. Doni sendiri lebih suka membuka pasar dengan memasarkan melalui internet. “Saya belum berani menawarkan langsung ke perusahaan sebab kapasitas mesin saya masih kecil,” ujarnya. Selain itu, Doni menghindari produksi secara berlebihan untuk meminimalkan risiko.
Bahan baku yang dipakai untuk stik es krim antara lain kayu albasia dan sengon. Menurut Doni, jenis kayu albasia dan sengon lebih ideal dibandingkan dengan kayu yang lain karena lebih empuk dan mudah dibentuk. Lain lagi dengan Guntur Yudihartono di Banyumas, Jawa Tengah. Walau masih sebatas home industry, Guntur mampu memproduksi sekitar tiga juta stik es krim per bulan. “Saya banyak memanfaatkan limbah pabrik kayu lapis untuk bahan baku,” katanya.
Dengan harga Rp 10-Rp 15 per batang, ia mengaku telah memiliki pelanggan tetap dari Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Dari penjualan stik ke berbagai kota itulah, dia mampu mengumpulkan omzet mencapai Rp 30 juta per bulan. Untuk memperluas cakupan pasar, saat ini Guntur juga mulai menawarkan produknya secara langsung ke berbagai perusahaan es krim. Bahkan, ke depan ia akan mulai mengembangkan produksi di Jakarta untuk menyasar peluang kerja sama dengan minimarket atau supermarket besar.
Menurut Guntur, untuk produk yang sama, harga di minimarket dan supermarket mempunyai harga lebih baik. Sayangnya, untuk memproduksi lebih banyak lagi, Guntur terhalang pasokan bahan baku. Mahalnya harga bahan baku membuatnya harus bersaing ketat dengan sesama produsen stik. Padahal, menaikkan harga jual stik jelas bukan pilihan dengan situasi ketatnya persaingan seperti sekarang ini.
Sumber: bisniskeuangan.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar