Dengan investasi Rp 350 juta untuk jabon dan Rp 650 juta untuk hutan jati mas, potensi income yang didapat bisa Rp 100 juta sampai Rp 200 juta sebulan.
Jati Emas (golden teak) akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan masyarakat perhutanan maupun masyarakat perkayuan dari berbagai lapisan. Jati emas merupakan hasil penelitian serta pengembangan intensif yang berkesinambungan selama beberapa puluh tahun di Thailand. Jati emas sendiri memiliki beberapa keunggulan dibanding kayu jati lokal. Selain daya tumbuhnya cepat, tingkat kelurusannya yang tinggi, juga warna kuning keemasan dengan seratnya yang lurus sehingga sangat disukai konsumen luar negeri.
Dengan percepatan tumbuh rata-rata 20 cm per 10 hari, praktis memperpendek masa panen jati emas dibanding jati lokal yang umumnya 40 tahun menjadi 5-15 tahun saja. Mutu jati emas sendiri diklasifikasikan sebagai kayu jati kelas ringan dengan kepadatan 700 kg/m3. Warna jati emas juga menjadi trend setter dalam tradisi warna furniture di Amerika, Eropa, dan Jepang yang menjadi tujuan ekspor di masa mendatang.
Peluang pengembangan hutan jati emas di Indonesia kemudian ditangkap pengusaha muda Muhammad Alkaf. Lewat PT Harfam Jaya Makmur, Alkaf fokus membidangi penanaman hutan sejak 2004. “Usaha ini diawali dari perhatian yang tinggi dari para pendirinya terhadap pelestarian alam dan pemberdayaannya yang dapat memberikan nilai ekonomis yang tinggi untuk kesejahteraan masyarakat,” ungkap Presiden Direktur Harfam ini. Tanah-tanah yang kurang produktif coba ditanami bibit jati emas dan jabon yang direkayasa sehingga kualitasnya menjadi lebih baik.
Penanaman hutan juga sebagai upaya Alkaf untuk turut serta memenuhi kebutuhan dunia akan kayu yang terus meningkat, baik untuk pasar global maupun Indonesia, yang tidak mampu diimbangi dengan produksi kayu itu sendiri. Perkembangan populasi dunia terus meningkat, sementara pada saat bersamaan terjadi proses penyempitan hutan. Akibatnya, permintaan dunia kayu akan senantiasa tidak tercukupi.
Setelah melakukan survei sekitar 2 tahun, Harfam menemukan daerah Bondowoso, Jawa Timur, merupakan wilayah yang tepat untuk ditanami jati emas. Lahan yang dipilih semula merupakan lahan tidur atau lahan yang kurang didayagunakan. Kemudian setelah menjadi areal penanaman jati emas, memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Alkaf juga mengatakan, saat ini masih banyak lahan di daerah yang belum tergarap. “Tahun 2010 kita roadshow pameran untuk menawarkan investasi usaha ini ke beberapa kota di Indonesia. Ternyata di daerah banyak lahan yang belum tergarap. Mereka punya lahan tapi tidak tahu cara mengelolanya,” ujarnya. Hal itu juga menjadi alasan Harfam memfranchisekan usaha jati emas dan jabonnya lewat PT Harfam Indonesia. Ia menjelaskan, semua lahan di Indonesia bisa ditanami jabon. Sedangkan untuk jati emas, perlu survei terlebih dahulu karena tidak semua bisa ditanami.
Indonesia menurut Alkaf, memiliki kondisi tanah dan cuaca yang lebih baik untuk mengembangkan jati dibanding Thailand. Sehingga bukan tidak mungkin, jika industri perkayuan tersebut dikelola dengan baik akan mampu mengungguli Thailand. Guna mendukung hal tersebut, Harfam terus meningkatkan penelitiannya dengan perusahaan bibit terpercaya di Thailand serta universitas-universitas pertanian.
Harfam mematok harga Rp 650 juta bagi yang tertarik menjadi franchisee jati emas. Sedangkan jabon, Rp 350 juta. Angka tersebut diluar biaya sewa tempat dan set up kantor. Kalau termasuk set up, bisa sampai Rp 1 miliar. Franchisee akan mendapatkan 1000 bibit jati emas unggul dan 500 bibit jabon unggul, pupuk organic dan anorganik selama 6 tahun untuk lahan 1 hektare (untuk franchisee jati emas) atau 3 tahun untuk jabon. BEP di bulan ke-7 dengan potensi income untuk franchisee jati emas Rp 200 juta/bulan dan Rp 100 juta/ bulan untuk jabon. Perjanjian franchise berlaku 10 tahun.
Franchisee bertindak sebagai representasi Harfam di wilayahnya. Sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan franchisee antara lain; mencari mitra calon pemilik kebun, menawarkan penjualan tanah kebun, mengelola perkebunan jati emas atau jabon, menjualkan hasil panen perkebunan, dan menerima bagi hasil dari pemilik kebun.
Untuk itu, Harfam akan memberikan support berkelanjutan bagi franchiseenya. “Selama dia menjadi franchisee kita, selama itu juga dia kita latih,” kata Alkaf. Pelatihan yang diberikan meliputi pelatihan marketing, mengelola kebun, cara jualan, manajemen. Untuk SDM ahli pertanian, diserahkan kepada franchisee.
Sumber : majalahfranchise.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar