Suwandi, yang kini lebih dikenal sebagai MS Wawan, seorang pelukis andal dari Jember, yang sudah melakukan pameran di empat benua di dunia, tak pernah menyangka nasibnya sebagai pelukis akan seperti ini. Mantab menjadi pelukis sejak masih duduk di bangku SMP, MS Wawan harus mendaki bukit terjal untuk mencapai kesuksesannya saat ini. Masa lalu Wawan penuh dengan ikhtiar dan keprihatinan. Dibesarkan oleh kakek dan nenek di Kota Malang, karena orangtua sudah meninggal dunia, membuatnya menjadi seorang anak yang pendiam dan tertutup. Sejak, masih kanak-kanak Wawan akrab dengan kesunyian. Dia senang menyendiri dan merenung sendiri. Untuk ukuran anak lelaki, sifat Wawan bisa jadi sentimental layaknya anak perempuan. Dia bisa mendiamkan teman lelakinya hanya karena sakit hati melihat sang teman berpelukan mesra dengan orangtuanya. Rasa sakit yang mengiris hatinya bak sembilu itu karena Wawan tak pernah merasakan sentuhan ayah dan ibunya. Yang dia tahu, dia hanya anak yatim-piatu yang dibesarkan oleh kakek-nenek dan hidup bersama saudara-saudaranya. Hidup dalam keterbatasan, yang membuat dia mulai termotivasi untuk mencari nafkah sejak masih kanak-kanak. Di bangku sekolah dasar, di Malang, dia memilih menjadi penjual es. Dia jual ke teman-temannya untuk menambah uang saku ke sekolah.
Berlanjut ke SMP, Wawan memilih menjual kacang permen. Di masa SMP ini, dia mulai menunjukkan ketertarikan yang sangat pada dunia melukis. Bakat itu memang ada sejak dia masih kecil, hanya tak terlalu menarik minatnya. Di bangku SMP, dia melukis wajah kakek dan nenek salah seorang temannya dalam bentuk sketsa. Karena keterbatasan bahan, waktu itu dia tidak menggunakan pensil ketika membuat sketsa. “Saya menggunakan bekas baterai,” katanya. Komponen baterai memang menggunakan bubuk karbon yang berwarna hitam. Bubuk itu, dia keluarkan dari baterai, dan dia gunakan sebagai alat pengganti pensil. Itu pertama kalinya dia melukis dan langsung menerima bayaran. “Itu uang pertama dari lukisan. Dan saya bangga sekali,” katanya. Kejadian menggembirakan itu adalah tonggak pertama, dia mulai berpikir untuk mencari nafkah dari melukis. Dia sudah memantabkan diri untuk menjadi seorang pelukis. Hanya saja, karirnya untuk menjadi seorang pelukis tak bisa langsung dia wujudkan. Dia masih diharuskan untuk melanjutkan sekolah di bangku SMA. Sambil terus melukis, dia kembali berjualan. Kali ini, dia memilih menjadi penjual koran, majalah, dan buku TTS di Stasiun Tugu Yogyakarta. Setiap hari dia menumpang kereta yang melaju di jalur Solo-Klaten-Yogyakarta-Kutoarjo. Begitu terus setiap hari. Di sela-sela menjual koran, majalah, dan buku TTS itu, diam-diam Wawkat mengasah bakat lukisnya. Dia menggunakan aneka kardus yang sisa bungkus barang-barang yang bergeletakan di stasiun sebagai media gambarnya. Dia tentu saja tak bisa dengan mudah membeli kertas gambar. Mahal dan pasti akan menghabiskan uang hasilnya bekerja. Dari kardus-kardus bekas itu, dia melukis seorang anak, seorang kakek, seorang ibu, hiruk pikuk stasiun.
Awal yang mendekatkannya pada potret kehidupan anak manusia. Lulus dari SMA Jetis Yogyakarta, dia mantab melanjutkan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Masuk ke sekolah seni dia mendapat tentangan dari kakaknya. Masa depan seniman ketika itu kerap membuat orang mengerutkan keningnya ketika anak sanak saudara atau anak mereka memilihnya menjadi gantungan nafkah. “Mau jadi apa kamu kalau jadi seniman lukis. Itu kata kakak saya. Masak kamu nggak ingin menjadi dokter. Itu kan lebih enak. Masa depan terjamin,” katanya menirukan provokasi sang kakak. Secara terus menerus, sang kakak terus memprovokasi Wawan untuk mengubah keinginan menjadi pelukis. Sang kakak terus menerus menekankan bahwa menjadi dokter atau pegawai akan membuatnya hidup makmur.
Wawan hanya bisa menghela napas panjang. Dengan pelan, dia berusaha memberi pengertian kepada sang kakak. Tentu, dia tak ingin sang kakak sakit hati. Karena kakaklah yang merawat dia sebagai pengganti orangtua. “Saya bilang, Kak, selama ini pernahkah saya menolak saran dan nasihat kakak. Tolong, sekali ini biarkan saya menempuh jalan hidup saya sendiri,” katanya. Tak ada kesepakatan. Yang ada hanya pembiaran dan sikap diam. Sang kakak memilih tidak menegurnya ketika Wawan nekat melanjutkan pendidikannya di ASRI. Melanjutkan mimpi-mimpinya untuk menjadi seorang pelukis. Tiga kali hari raya kakaknya tak menegurnya. Tapi, lama kelamaan keluarga bisa menerima dirinya sebagai seorang pelukis. Perjuangannya yang tak tanggung-tanggung membuat dia sukses menjadi seniman lukis.
Wawan sudah pameran di 26 negara. Pertama kali pameran diluar negeri, dia sudah mengunjungi Berlin, Belgia, Rotterdam, Amsterdam, dan Brussel, serta beberapa negara lain. Bulan Juni nanti, dia kembali akan melangsungkan pameran di Menara Jamsostek Jakarta, Yogyakarta, Nusa Dua Bali, Kyoto Jepang, Singapura, dan Putra Jaya Malaysia. Pameran, bagi seorang seniman sangat mutlak diperlukan. Wawan menilai seniman itu harus konsisten untuk pameran. “Selain untuk menambah wawasan dan untuk menunjukkan inilah karyaku, pameran itu untuk menambah poin kharismanya. Sebuah titik awal menjadi maestro,” katanya. Pameran di berbagai negara juga sangat menguntungkan pelukis tanah air karena menambah kemajuan bagi karya mereka. Berbeda dengan seniman di Indonesia yang kadang kelewat eksklusif, seniman mancanegara justru lebih bersahabat dengan sesama seniman. Ada sharing pengetahuan dan teknik melukis, ada rasa saling isi mengisi. “Beda jauh, kalau seniman luar negeri mereka lebih friendly. Akhirnya, kami bisa saling isi mengisi,” katanya.
Di Jember, seniman masih terikat dengan teori. Bagi Wawan itu menghambat seorang seniman untuk lebih maju. Seniman hanya tenggelam dalam idealisme tapi tak kunjung berkembang. “Kalau teori sudah sampai Pluto, tapi orangnya masih di Jelbuk. Padahal, kalau mau lebih maju, pasti bagus,” katanya. Untuk sampai ke pameran di berbagai negara, selepas dari ASRI Yogyakarta, dia masih harus magang di seorang maestro Belanda, yang kini tinggal di Bali. Di sana, dia terus mengasah kemampuan melukis, sekaligus kepekaan sebagai seorang seniman. Kini, karya-karyanya sudah banyak dipesan oleh kolektor dengan pasaran sekitar Rp 40 juta ke atas. Bahkan ada sebuah karya yang sudah ditawar Rp 120 juta. Karya itu dia beri nama Bamboo Village. Tak lama untuk membuat sebuah lukisan. Wawan juga tak percaya dalam proses berkreativitas, seorang seniman tergantung pada mood. “Oh saya tak percaya itu. Seniman ya seniman, mau suasana kacau, tenang, berisik, harusnya ya tetap bisa berkarya,” katanya. Dia sendiri merasa ada hutang ide jika dia tidak segera menuangkan ide-idenya dalam sebuah karya lukis.
Untuk ide, dia juga mengaku tidak tergantung mood. Ide bisa datang dari mana saja. Bahkan, pertemuan dengan seorang wanita muda Tiongkok ketika dia berada di Shan Dong, bisa menjadi sumber inspirasi. Awalnya hanya say hello, berlanjut dalam hubungan pertemanan, akhirnya wanita muda itu bersedia menjadi modelnya. Sungguh mudah bukan, asal ada niat disitu pasti ada jalan. “Berkarya dengan menggunakan otak yang diciptakan Tuhan, itu sungguh tak terbatas. Bukan karena mood, mood bisa dikendalikan asal kita sungguh-sungguh menjalani dengan sepenuh hati,”pungkasnya.
Sumber : sosok.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar